MAHKAMAH Konstitusi (MK) selama ini kesulitan mengungkap praktik suap dalam proses penyusunan sebuah UU yang diperkarakan di MK. Tanpa bukti yang kuat, lembaga pengawal konstitusi itu sulit membatalkan semua materi produk legislasi meski sejumlah kalangan menilai ada indikasi suap dalam proses pengesahan UU.
"Sejauh ini, MK kesulitan membuktikan (ada suap). Kalau ada yang bisa membuktikan jika dalam proses (pembuatan UU) dibuat dengan suap, MK bisa meminta penyidik untuk diselesaikan (mengungkap suap). Begitu ada suap, maka UU itu batal," kata hakim konstitusi Maruarar Siahaan di Jakarta, pekan lalu.
Hakim konstitusi yang telah memasuki masa pensiun itu mengatakan, tidak mudah menghadirkan saksi yang bisa memberikan keterangan soal adanya praktik suap dalam proses legislasi saat MK mengelar uji materi UU.
"Ada orang yang tidak mau memberikan keterangan yang pernah di MK, saksi dari anggota DPR pun hanya satu yang menerangkan. Itu tidak bisa, mesti dua. Kalau dua saksi, itu UU (yang dibuat dari suap) akan kita minta disidik pelakunya kepada polisi," ujarnya.
MK juga sulit mengungkap pratik suap legislasi karena tidak bisa proaktif. Namun, Maruarar menegaskan, MK bisa maksimal menggali informasi dari saksi yang ada. MK juga telah memberikan peringatan kepada DPR dan pemerintah agar melakukan praktik suap menyuap dalam proses legislasi. "Kalau terjadi, alangkah mubazirnya. Puluhan miliar rupiah uang digunakan untuk pembuatan UU. Tetapi bisa dibatalkan. Supaya jangan terjadi lagi suap menyuap. Sangat berbahaya," ungkap Maruarar.
Dalam mengeluarkan putusan pembatalan seluruh materi UU, Maruarar menambahkan, MK harus mempertimbangkan kepastian, keadilan, dan manfaat. "Kalau misalnya UU dibatalkan, maka kekekacauan akan timbul, tidak bisa," katanya.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai, praktik suap dapat dijadikan alasan untuk membatalkan sebuah kebijakan. Di MK, teorinya sudah, tetapi praktiknya belum ada. "Kalau ada RUU yang dibuat, berdasarkan praktik suap, ada agenda permainan yang tidak halal, yang melanggar hukum, mengandung unsur pidana, misalnya terbukti, maka UU itu bisa dibatalkan seluruhnya," kata Jimly.
Pembatalan itu, bukan karena masalah materiil, namun terkait dengan proses penyusunan UU tersebut. Jadi, kalau mengandung tindak pidana, seluruhnya bisa dibatalkan. Keputusan untuk membatalkan seluruh materi UU, lanjut Jimly, selama ini, hanya tergantung penafsiran hakim. "Di peraturan MK sudah ada," katanya.
Jakarta | Tue 05 Jan 2010
by : M. Yamin Panca Setia
Jurnal Nasional