Jakarta - Pemerintah harus serius memberdayakan hukum administrasi negara untuk mencopot pejabat-pejabat yang diduga terlibat korupsi. Jika pejabat yang diduga korupsi tidak direposisi, akan timbul ketidakpuasan di masyarakat. Pemerintah didorong untuk tak ragu menggunakannya.
Demikian dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di Jakarta, Selasa (29/12). Menurut Mahfud, jika memang merasa perlu melakukan reposisi, pemerintah dapat menggunakan ketentuan hukum administrasi negara.
Penggunaan hukum administrasi negara untuk memberhentikan pejabat, kata Mahfud, sudah pernah dilakukan sebelumnya. Semisal pada kasus Kajati DKI Rusdi Taher dan Yusril Ihza Mahendra yang diberhentikan dari jabatannya.
“Kalau diduga sudah ada tindak korupsi, gunakan hukum administrasi negara untuk mereposisi, tidak perlu menunggu proses hukum pidana, karena proses hukum pidana itu lama,” tegas Mahfud.
Selama ini, kecenderungan pejabat yang diduga terkait korupsi tak diberhentikan karena menunggu proses hukum pidananya selesai. Akibatnya ada kontroversi di kalangan masyarakat, padahal proses hukum pidana membutuhkan waktu lama. Belum lagi, kata Mahfud, proses hukum pidana yang panjang memungkinkan terjadi kolusi antara pejabat dan penegak hukum.
Sementara itu, di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar mengharapkan Bank Pembangunan Daerah di berbagai daerah segera menghentikan praktik ilegal seperti menyetorkan uang kepada sejumlah pejabat daerah. KPK juga meminta pejabat daerah yang telah menerima dana ilegal tersebut segera mengembalikannya, sebab uang tersebut adalah milik negara.
Komisi juga membidik enam kepala daerah yang diduga mengambil uang kas daerah yang bersumber dari fee dan fasilitas bank. Keenamnya yang diduga bermasalah tersebut adalah Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Surabaya, dan Semarang. Menurut Haryono Umar, dari penyimpangan uang kas daerah tersebut,total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 360 miliar. Penyimpangan itu berasal dari fee, bunga, dan fasilitas yang diberikan bank atas penempatan uang APBD di Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Potensi “People Power”
Di tempat terpisah Ketua Mahakamah Agung (MA) Harifin Tumpa mengkhawatirkan ketidaksabaran masyarakat terhadap proses hukum akan melahirkan people power yang mengancam supremasi hukum. Cara-cara pengerahan massa untuk mendesak keputusan tertentu, disebutkan Harifin, dapat mencederai supremasi hukum. ”Ada kecenderungan menggunakan people power, penegak hukum ditekan, demonstrasi besar-besaran dan desakan kepada para hakim,” paparnya.
Mantan Ketua MK Jimly Assidhiqie mengatakan, tahun 2009 yang mengurai sejumlah persoalan hukum sepatutnya membuat pemerintah di tahun 2010 beresolusi melakukan perbaikan sistem penyelenggaraan negara dengan menata ulang kembali manajemen, baik di peradilan, Kejaksaan, Kepolisian maupun ke lembaga-lembaga negara.
Wakil Presiden KAI Todung Mulya Lubis dalam rilisnya kepada SH menilai fenomena people power baik adanya dalam mengangkat derasnya partisipasi publik untuk penegakan hukum. “Barangkali belum pernah ada partisipasi dan kesadaran publik akan suatu masalah penegakan hukum yang sedemikian luas dan antusias dalam sejarah,” ujarnya.
KAI juga mencermati program pemberantasan mafia hukum sebagai program pertama dari Program 100 Hari Presideh Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, masih belum tampak hasil kerjanya. Bahkan, program itu cenderung terkesan mengonfirmasi pendapat bahwa itu bagian dari pencitraan semata.
(ninuk cucu suwanti/
rikando somba)
Rabu, 30 Desember 2009
Sinar Harapan