"Saat ini ada kegenitan. Jika pemerintah yang bertindak dikira otoriter, tapi kalau rakyat melakukan protes dilindungi. Kalau ini terus dibiarkan yang terjadi adalah tindakan anarkistis." Moh. Mahfud MD (Detikcom, 29 Desember 2009).
Kutipan kalimat di atas disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi. Lebih jauh Mahfud mengatakan, "Yang terjadi saat ini tidak imbang. Pemerintah memang harus dikontrol lewat forum seperti ini. Tapi demokrasi dan anarkis bedanya tipis. Kita harus hati-hati."
Kegelisahan Prof. Mahfud MD tersebut patut untuk dibaca dan dicermati dengan baik. Karena sejatinya, demokrasi adalah sebuah untaian proses dan bukan semata-mata tujuan. Demokrasi tentu membutuhkan aturan (rules) agar mampu tumbuh dan berkembang dengan sehat. Untuk itulah, perlu dicari titik keseimbangan antara demokrasi dan rules, antara kebebasan dan aturan.
Rumus sederhananya adalah kebebasan yang berlebihan dapat mengubah negara menjadi anarkistis, namun sebaliknya, jika peraturan yang diciptakan terlalu ketat maka sebuah negara dapat berubah menjadi otoriter, bertangan besi. Equilibrium di antara keduanya tentu saja capaian yang tidak mudah, meski harus terus diupayakan. Karena perkawinan antara demokrasi dan aturan niscaya akan melahirkan checks and balances masyarakat-negara yang bersifat kritis sekaligus idealis.
Dalam konteks demikian, buku Membongkar Gurita Cikeas harus dihormati sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang merupakan salah satu hak asasi manusia (human rights) dan hak warga negara (the citizen's rights) sebagaimana dijamin secara jelas-tegas dalam UUD 1945. Maknanya, tidak boleh ada pelarangan penerbitan dan peredaran buku tersebut. Pelarangan buku atau kebijakan otoritarian lainnya, harus ditolak, utamanya jika kita tidak menginginkan bangsa ini mengulangi sejarah kelam orde represif di masa lalu.
Namun di balik itu, isi buku sepenting tulisan Dr. George J. Aditjondro itu seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis dan akademis. Kalau hanya kumpulan gosip, rumor atau asumsi, tentu saja menjadi tidak layak untuk disebut sebagai karya ilmiah. Kalau akurasinya rendah, lompatan logikanya berderet, tentu harus direndahkan pula bobot apresiasi atas buku tersebut.
Apresiasi atas sebuah karya harus sepadan dengan nilai karya itu. Yang baik dinilai baik, yang buruk harus dinilai buruk. Buku baik selayaknya ditanding dengan buku baik. Buku buruk tentu tidak layak diapresiasi, malah mungkin lebih layak dihadapkan pada proses hukum jika ternyata berisi fitnah, pencemaran nama baik ataupun pembunuhan karakter (character asassination). Dalam iklim demokrasi, semua pihak tidak hanya dapat menulis buku, namun semua pihak juga punya hak untuk menggugat jika suatu buku mencemarkan nama baiknya.
Maka terhadap buku karya George J. Aditjondro, tidak hanya demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dikedepankan, tetapi aturan dan etika penulisan ilmiah, yang diklaim yang bersangkutan, harus dapat dipertanggungjawabkan. Lari dari pertanggungjawaban demikian, tidak hanya akan mengundang hadirnya anarki, tetapi juga blunder yang bisa menjatuhkan harga diri.
Kepada George: teruslah berkarya. Tentu dengan kualitas yang harus makin ditingkatkan. Agar yang hadir di Tanah Air, sebagaimana dimaksud Prof. Mahfud MD, adalah demokrasi, bukan anarki.
Wed 30 Dec 2009
Jurnal Nasional