MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai MK dapat membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang melanggar dan merugikan masyarakat dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Langkah tersebut harus dilakukan MK untuk mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan dalam penerbitan perppu.
Jimly menyatakan, perppu memang bukan obyek pengujian di MK. Namun, bukan berarti tidak bisa diuji oleh hakim konstitusi. "Menurut saya itu bisa. Tergantung kasusnya. Kalau perppu itu melanggar HAM, masak dibiarkan," ujar Jimly di Jakarta akhir pekan lalu. Dia mencontohkan jika seseorang menguji perppu karena dianggap dapat mengancam dirinya. Namun, ditolak MK karena harus menunggu pengesahan sebuah UU.
"Lho, kalau nunggu tiga bulan (proses legislasi), maka sudah banyak yang mati. Jadi, sebelum banyak yang mati, ajukan ke MK. Ya boleh MK mengujinya karena Perppu itu seperti UU berlakunya," ujarnya.
Namun demikian, Jimly menyatakan, MK tidak bisa menguji semua perppu. "Pada prinsipnya perppu bukan obyek judicial review di MK. Namun, dalam kasus tertentu bisa saja diterima hakim, apabila perppu itu melanggar HAM dan sangat merugikan masyarakat," jelasnya. Jimly juga menilai perlu segera dibuat aturan yang membatasi terbitnya perppu. Ketidakjelasan aturan penerbitan perppu amat rawan disalahgunakan oleh kekuasaan.
"Sekarang ini mekanismenya belum jelas, bagaimana perppu dibuat, apa syaratnya secara materil dan formil serta bagaimana cara mencabutnya. Sebab kalau tidak ada aturan yang jelas, ini (perppu) bisa disalahgunakan," kata Jimly.
Jimly menjelaskan penerbitan perppu harus memenuhi syarat materil, formil dan materil yang berlaku dalam keadaan dararut dan keadaan normal. Syarat materil keadaan normal atau tidak, Jimly menyatakan, harus dibedakan secara jelas. Sebuah perppu bisa diterbitkan karena alasan keadaan darurat yang mengacu pada Pasal 12 UUD 1945 mengenai keadaan bahaya. Kategori keadaan dararut harus memenuhi prinsip emergency yang disepakati lewat deklarasi keadaan darurat dari Presiden karena dapat melanggar semua aturan, kecuali Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. "Dalam keadaan darurat, semua bisa dilanggar. HAM masih bisa dilanggar," kata Jimly.
Dia mengusulkan agar UU No 10 tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undang, perlu direvisi karena mengandung kelemahan. "Perlu direvisi. Karena itu jelas salah," terangnya.
Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu menilai, UU itu tidak memberikan tafsir kegentingan yang memaksa. Padahal, kegentingan yang memaksa merupakan syarat yang diberikan oleh UUD 1945. "Itu harus diatur dalam undang-undang tersebut," ujarnya.
Saat ini, Pasal 25 ayat (4) UU No. 10/2004 menyebutkan bila Perppu ditolak DPR maka presiden harus mencabut Perppu itu dengan mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu. Namun, tidak diatur batas waktu pencabutannya. "Bagaimana bila presiden tidak mencabut Perppu itu, kan masih tetap berlaku. Ini kan kacau," kata Jimly.
Sebelumnya, Ketua MK Moh Mahfud MD menilai, MK tidak dapat menguji perppu karena menjadi kewenangan presiden sesuai UUD 1945. Menurutnya sejak tahun 1945 hingga saat ini mekanismenya juga seperti itu. Menurut Mahfud, perppu hanya boleh diuji dengan political review dan legislative review.
Jakarta, Senin 28 Des 2009
M. Yamin Panca Setia
Jurnal Nasional