DAHULU, mafia hukum diilustrasikan sebagian besar masyarakat bak kentut. Aroma busuknya menyebar ke mana-mana, tapi tak jelas rupanya. Kini, masyarakat tak lagi perlu meraba-raba. Mafia hukum terpampang nyata setelah sidang Mahkamah Konstitusi (MK) menayangkan rekaman mengenai rencana kriminalisasi terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Dalam rekaman yang didengarkan secara terbuka pada 3 November 2009 lalu, tersingkap jelas bagaimana laku para mafia hukum. Rekaman yang disadap KPK itu, mafia hukum yang tak diperankan para makelar kasus (markus). Namun, juga melibatkan petinggi institusi penegak hukum.
Anggodo Widjojo‘”adik Anggoro Widjojo, bos PT Masaro yang menjadi buronan kasus korupsi yang ditangani KPK‘”menjadi aktor kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra. Dia berkongkalikong dengan sejumlah petinggi institusi penegak hukum untuk memenjarakan Bibit dan Chandra.
"Rekaman itu tidak bisa dibantah. Mafia peradilan itu ada," kata Ketua MK Moh Mahfud MD di Gedung MK, Jakarta, beberapa hari lalu. Rekaman itu menggambarkan sisi gelap penegakan hukum di negara ini. "Mafia hukum tak lagi sebatas rumor di masyarakat," imbuh Mahfud.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas juga miris menyikapi rekaman itu. Dia mengilustrasikan skenario yang disusun para mafia hukum sangat sistematis. "Yang namanya korupsi itu sudah sistemis, terang-terangan dan tidak ada rasa takut lagi," cetus Busyro di Gedung KY, Jakarta belum lama ini.
Karena itu, dia menegaskan, tak ada cara lain untuk melawannya, kecuali lewat pemberantasan mafia hukum secara sistemis. Busyro meyakini, Rancangan Undang-Undang (RUU) KY yang hingga kini tak disentuh DPR dan pemerintah, dapat menjadi senjata ampuh memberantas mafia.
Rekaman penyadapan KPK itu memang telah menyulut kemarahan publik. Tepat di hari antikorupsi sedunia, 9 Desember 2009, ribuan orang mengepung kawasan Merdeka, Jakarta. Massa yang berasal dari sejumlah elemen masyarakat itu menggelar demonstrasi damai di kawasan Monumen Nasional dan Istana Merdeka.
Anggodo bersama sejumlah petinggi institusi hukum menjadi musuh bersama yang harus segera dihukum. Publik seakan menemukan momentum untuk melawan mafia hukum setelah mendengar rekaman penyadapan itu.
Namun, tak lama berselang, pemerintah tiba-tiba mengusulkan agar penyadapan semua institusi penegak hukum harus diatur. Departemen Komunikasi dan Informasi yang menjadi inisiator, kini tengah sibuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum (tata cara intersepsi).
Kontan saja, RPP itu menuai reaksi penolakan dari KPK dan sejumlah aktivis antikorupsi. RPP itu dapat membius KPK hingga mandul. "Peraturan penyadapan itu hambatan bagi kerja kita ke depan," kata Hatorangan Panggabean di Gedung KPK, Jakarta, belum lama ini.
Dia mengharap semangat kebangkitan KPK tidak dilemahkan dengan aturan yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Bagi KPK, penyadapan ibarat taring untuk menggasak para koruptor. Sebagian besar kasus korupsi dan suap yang ditangani KPK dapat terungkap karena penyadapan.
"Lebih dari 50 persen keberhasilan penanganan kasus korupsi oleh KPK berasal dari proses penyadapan," ujar mantan pimpinan KPK Erry Riyana. Contoh kasus mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan sejumlah kasus korupsi lainnya.
Dengan penyadapan, KPK juga berhasil membongkar praktik makelar kasus yang nyatanya melibatkan petinggi institusi penegak hukum, termasuk upaya merekayasa hukum lewat kriminalisasi Bibit dan Candra. Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring membantah jika RPP tersebut untuk melemahkan KPK. "Tidak benar untuk pelemahan KPK. KPK dilibatkan (dalam pembahasan) kata mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Pemerintah juga berdalih, kewenangan penyadapan perlu diatur karena dicurigai jika antarinstansi penegak hukum saling sadap. Kewenangan penyadapan tak hanya melekat di KPK. Tapi juga dimiliki Polri, kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo Gatot S Dewa Broto menerangkan, RPP Penyadapan hanya menyangkut petunjuk teknis yang harus dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan penyadapan. RPP tersebut juga dibahas bersama KPK, Polri dan Kejaksaan Agung.
"Kita duduk bersama dengan KPK dan Polri," ujarnya.
Tapi, pembahasan antara KPK dan Depkominfo beberapa waktu lalu belum menemukan kesepakatan. Ketidaksepakatan itu menyangkut izin penyadapan dari pengadilan dan pembentukan lembaga yang mengatur penyadapan Pusat Intersepsi Nasional (PIN).
Hal itu dinilai KPK dapat menghambat pemberantasan korupsi. Dalam menangkap koruptor, KPK memang sering menggelar operasi mendadak. "Kalau minta izin, kan orangnya keburu pergi," kata Wakil Ketua KPK M Jasin.
Alasan untuk mengantisipasi saling sadap antarinstitusi penegak hukum juga dinilai tidak tepat oleh mantan pimpinan KPK Erry Riyana. "Bukan suatu masalah jika antaraparat penegak hukum saling menyadap. Koridornya harus jelas yaitu penegakan hukum," tegasnya. Dia menegaskan jika mekanisme penyadapan KPK sangat ketat. "Internal check yang juga ketat," kata dia.
Jasin juga menyatakan, penyadapan KPK selalu diaudit oleh lembaga yang berwenang, termasuk Depkominfo. KPK juga menerapkan mekanisme pengawasan internal dalam bentuk prosedur operasional standar penyadapan.
Tapi, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan punya pandangan lain. Dia mendukung RPP tersebut karena penyadapan melanggar hak asasi manusia (HAM). Bagir mendukung jika penyadapan untuk menyelidiki kasus pidana harus disetujui ketua pengadilan.
Dia menegaskan, izin penyadapan dari ketua pengadilan merupakan prosedur yang diatur di seluruh dunia. "Di seluruh dunia prosedur penyadapan harus lewat pengadilan," kata di Gedung MA, Jakarta berapa hari lalu.
Tanpa prosedur yang ketat, Bagir menilai, penyadapan dapat melanggar HAM. "Hak asasi setiap orang untuk berkomunikasi, hak rahasia institusi juga harus dijamin dan dijamin oleh UUD 1945," terangnya.
Masalahnya, bagaimana jika yang disadap adalah oknum di pengadilan? Bagir menjawab, izin penyadapan bisa langsung ke MA. "Minta saja ke MA," katanya meyakinkan. Bagir yakin pengadilan akan obyektif dan menaati proses hukum yang ada apabila ada aturan mengenai izin penyadapan.
Tapi, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho tidak percaya dengan argumentasi Bagir itu. Dia khawatir izin penyadapan dari ketua pengadilan akan menjadi dagangan oknum di pengadilan. Apalagi, praktik mafia peradilan hingga kini masih marak di pengadilan. ICW khawatir proses izin menjadi dagangan oknum Ketua Pengadilan.
Izin tersebut juga memungkinkan terjadinya kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan. "Jadi, membuka peluang praktik korupsi di pengadilan," kata Emerson. ICW pun bergerak meminta dukungan MK untuk menyikapi RPP tersebut. Pasalnya, RPP itu juga melabrak substansi putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 atas judicial review Pasal 53 dan Pasal 12 ayat (1) huruf (a) UU KPK.
Dalam putusannya, MK menyatakan syarat dan tata cara penyadapan harus dengan UU. Karena itu, Mahfud menilai KPK dapat mengabaikan aturan izin penyadapan yang bakal diatur dalam PP penyadapan. "KPK boleh tidak taat RPP karena kewenangannya itu dari UU," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, kewenangan penyadapan yang melekat di sejumlah lembaga telah diatur dengan UU tersendiri. Dia mencontohkan kewenangan KPK yang sudah diatur dalam UU KPK No.30 Tahun 2002. Dari perspektif ilmu hukum, Mahfud menilai, sebuah PP hanya bisa mengatur salah satu pasal dari sebuah UU, tidak mengatur semua UU.
"Kalau itu mau (mengatur masalah penyadapan di semua lembaga) dibuat harus dalam UU tidak boleh RPP," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu. Nah, kalau begitu, buat apa lagi Menkominfo sibuk membahas RPP Penyadapan. Lebih baik, melaksanakan tugas lainnya yang lebih penting.
Jakarta | Sat 26 Dec 2009
M. Yamin Panca Setia
Jurnal Nasional