Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Selasa (14/12), di ruang sidang panel MK. Sidang dengan Nomor Perkara 150/PUU-VII/2009 itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi Harjono, didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
Para Pemohon antara lain adalah Umar Abduh, Mohammad Iqbal bin A. Rahman (Abu Jibril), Haris Rusly, John Helmi Mempi, dan Hartsa Mashiru HR. Sedangkan Kuasa Hukum Pemohon adalah Isnandar S. Nasution, S.H., M.H., Ahmad Suryono, S.H., Roscie Pradini Pasaribu, S.H., Abdul Rahman Lubis, S.H., dan Dirgantara Putra, S.H.
Pemohon menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya UU Terorisme terkait persoalan "prosedur penindakan hukum terhadap teroris". Pemohon mendalilkan Pasal 25 ayat (1) UU Terorisme yakni "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku …" bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yakni "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil …"
"Dalam praktiknya, penerapan pasal tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap pihak-pihak yang hanya baru diduga melakukan atau terkait dengan tindak pidana terorisme," dalih Isnandar selaku Kuasa Hukum Pemohon.
Alasan lainnya, Pasal 26 ayat (1) UU Terorisme yakni "Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen. Ketentuan pasal ini tidak mengikat secara permanen dan inheren terhadap tugas …" bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Pasal tersebut menimbulkan multi penafsiran tentang sumber-sumber bukti permulaan, data intelejen dengan kategori dan kualitas tertentu tidak dimasukkan secara tegas sebagai legalitas utama dari bukti permulaan tentang diindikasinya seseorang atau korporasi terkait dan terlibat dalam aktivitas jaringan yang dianggap terorisme," ungkap Pemohon.
Menanggapi alasan-alasan Pemohon, Ketua Majelis Hakim Harjono memberi nasehat agar Pemohon bisa menjelaskan secara kronologis sebagai pihak yang kepentingannya dirugikan. Ditambahkan Harjono, karena permohonannya banyak, masing-masing harus bisa mendalilkan permohonannya. "Logika-logikanya harap dibangun secara runtut," saran Harjono.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida mengatakan bahwa permohonan Pemohon terlalu luas, tidak langsung kepada fokus permasalahan. Menurut Maria, hal ini perlu diperbaiki karena merupakan sidang pengujian undang-undang dan bukan implementasi undang-undang.
Sedangkan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyoroti masalah legal standing Pemohon dalam pengujian formil. Majelis Hakim menyarankan Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, selambat-lambatnya dalam waktu dua minggu. (Nano Tresna A.)