Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan adalah pasal-pasal yang pernah tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) yang telah dibatalkan oleh Putusan MK pada 15 Desember 2004 dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Demikian disampaikan Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Achmad Daryoko di persidangan MK, Kamis (17/12), dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji UU Ketenagalistrikan terhadap UUD 1945.
Pasal 10
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha.
(4) Pembatasan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik.
(5) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 11
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
(3) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
(4) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik.
Pasal-pasal tersebut, menurut Pemohon, memerintahkan agar sistem ketenagalistrikan dipecah-pecah (unbundling) menjadi dua. Untuk kawasan Jawa-Bali menggunakan unbendling vertikal, sedangkan untuk luar jawa unbundling horisontal atau pemecahan secara kewilayahan.
Dengan diberlakukannya unbundling vertikal untuk Jawa-Bali, menurut Pemohon, akan memicu kenaikan tarif minimal lima kali lipat. Misalnya di Mexico, Kamerun, saat beban puncak, terjadi kartelisasi perusahaan-perusahaan pembangkit yang akhirnya mengakibatkan lonjakan harga 15-20 kali lipat. Sedangkan sistem unbundling horisontal untuk luar Jawa adalah di mana pengoperasian PLN diserahkan kepada Pemda setempat. Sementara menurut Pemohon, wilayah luar Jawa rata-rata mengalami defisit PLN antara satu sampai dua triliun. "Bayangan kami, jika tiap provinsi difisitnya dua triliun, kemudian diserahkan kepada Pemda, bagaimana Pemda mengoperasikan PLN jika Pemdanya miskin, dari mana uangnya?" kata Pemohon. "Beda untuk daerah-daerah yang nota bene kaya seperti Kutai Kartanegara dan Riau," lanjut Pemohon.
Menurut Pemohon, Pemerintah tetap memaksakan kehendak untuk membuat UU tentang ketenagalistrikan yang pernah dibatalkan oleh MK karena Pemerintah merasa berat menangani pengoperasian kelistrikan, sehingga sistem ketenagalistrikan diserahkan kepada masyarakat atau swasta dan Pemda.
"Untuk Jawa-Bali akan diprivatisasi setelah dipecah-pecah kemudian dijual bagian per-bagian, sedangkan untuk luar Jawa akan diberikan kepada Pemda. Dengan demikian, Pemerintah Pusat tidak ada kewajiban menangani masalah kelistrikan secara langsung," kata Pemohon.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 149/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Serikat Pekerja PT PLN (Persero) ini dilakukan oleh Panel Hakim MK yang terdiri dari H.M. Akil Mochtar sebagai ketua, dua hakim anggota panel, Achmad Sodiki, dan Arsyad Sanusi. Sidang dihadiri Pemohon dan kuasa Pemohon.
Sebagaimana dalam permohonan, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 10 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 20; Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2); dan Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (4) UU Ketenagalistrikan. Menurut Pemohon, Pasal-pasal dalam UU a quo bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara."
Pemohon mendalilkan, materi UU a quo melarang pemilik perusahaan listrik dari satu jenis usaha penyediaan tenaga listrik memiliki perusahaan yang bergerak pada jenis usaha penyediaan tenaga listrik lainnya dalam satu wilayah usaha, sehingga posisi negara sebagai salah satu pemilik perusahaan listrik (BUMN) diperlakukan sama dengan perusahaan listrik lainnya. Hal ini membatasi kekuasaan negara dalam pemilikan perusahaan listrik karena listrik tidak lagi dikuasai negara (dikuasai oleh orang-seorang/swasta). Di samping itu, semangat dan jiwa yang melandasi UU a quo adalah mekanisme pasar/kompetisi persaingan dalam pengelolaan usaha dengan sistem pemisahan kegiatan usaha tenaga listrik/unbundling dalam Ketenagalistrikan yang jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Ketua Panel Hakim H.M. Akil Mochtar memberikan nasehat kepada Pemohon khususnya menyangkut struktur permohonan yang rumit. "Sebetulnya, pengujian undang-undang di MK sederhana saja," kata Akil. Kemudian Akil menjelaskan mengenai struktur permohonan yang meliputi identitas pemohon, kewenangan mahkamah, legal standing pemohon, pokok permohonan, dan petitum. Akil juga menegaskan bahwa berperkara di MK tidak dipungut biaya, sehingga dalam petitum Pemohon tidak perlu meminta Pemerintah untuk membayar baya perkara.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menilai permohonan tidak spesifik. "Permohonan sangat luas, namun substansinya sangat kontras antar halaman," kata Arsyad. Arsyad juga menanyakan legal standing Pemohon. "Apakah serikat pekerja ini badan hukum atau bukan?" tanya Arsyad. "Bukan, Yang Mulia," jawab Pemohon singkat.
Sedangkan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyarankan Pemohon membuat matrik mengenai persamaan bunyi pasal dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 (yang pernah dibatalkan MK) dengan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Akhirnya Majelis Hakim memberikan kesempatan maksimal 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki. (N. Rosihin)