Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon.
Demikian pokok permohonan yang disampaikan Kuasa Hukum Pemohon Farhat Abbas di ruang sidang panel MK, Senin (14/12), dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, dan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Sidang Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dipimpin oleh Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar sebagai Ketua dan dua Hakim Anggota Panel Maria Farida Indrati dan Harjono. Sidang dihadiri para Pemohon Adhie M. Massardi, Sri Gaya Tri, dan Agus Wahid.
Pemohon mendalilkan Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU Nomor 6/2009 bertentangan dengan UUD 1945 karena norma-norma "kesulitan keuangan", yang "berdampak" "sistemik" dan "yang berpotensi" mengakibatkan "krisis" "yang membahayakan sistem keuangan", norma-norma tersebut tidak memberikan kepastian hukum karena terlampau elastis. Norma-norma yang tertera dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU aquo terbuka untuk ditafsirkan secara subyektif oleh otoritas Menteri Keuangan (Menkeu) dan Bank Indonesia (BI), sehingga tidak memberi jaminan kepastian hukum.
Menurut Pemohon, frasa "mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan", adalah norma yang bersifat terbuka, tidak jelas ukuran-ukurannya, sehingga dapat diinterpretasikan secara subyektif oleh Menkeu dan otoritas BI. Begitu pula frasa "darurat", selain tidak jelas ukurannya, juga harus diinterpretasikan bahwa pembentuk undang-undang telah mengalihkan kewenangan konstitusional Presiden menyatakan keadaan darurat kepada Menkeu. "Padahal secara konstitusional kewenangan itu tidak dapat didelegasikan kepada siapapun juga," jelas Farhat.
Oleh karena itu, menurut Pemohon, norma dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU No. 6 Tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Negara Indonesia adalah negara hukum", dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."
Sedangkan mengenai Pasal 29 Perppu Nomor 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang menyatakan, "Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini," memberikan legitimasi kuat kepada pembuat kebijakan sehingga tidak dapat dipidana.
Menurut Farhat Abbas, pada 18 Desember 2008, Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Akan tetapi, pada kenyataannya Perppu tersebut masih berlaku. "Tetapi (Perppu Nomor 4/2008) masih berlaku dan menjadi payung hukum dalam pengeluaran dana 6,7 triliun," lanjut Farhat.
Dalam provisinya, Pemohon meminta Majelis agar memerintahkan Mantan Wapres RI H. M. Yusuf Kalla, Wapres Boediono (Mantan Gubernur BI), Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua BPK, Jaksa Agung, PPATK, KPK, dan LPS untuk hadir di sidang Mahkamah Konstitusi sebagai Pihak Terkait. "Kehadiran Pihak Terkait diperlukan untuk diminta keterangan atau bukti-bukti mengenai aliran dana talangan ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 trilyun," sambung Farhat.
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar menyarankan perbaikan permohonan khususnya mengenai struktur permohonan. Menurutnya, permohonan tidak terstruktur sebagaimana mestinya. "Seharusnya (urutannya), di depan adalah kewenangan MK, legal standing (Pemohon), kemudian pokok permohonan," lanjut Akil.
Senada dengan Akil, Harjono juga menyoroti tentang struktur permohonan. Sedangkan Maria Farida menilai permohonan terlalu melebar dan tidak fokus. Akhirnya, Majelis Hakim memberikan kesempatan waktu maksimal 14 hari kepada Pemohon atau kuasanya untuk memperbaiki permohonan. (Nur Rosihin)