Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) memperkosa Pancasila menjadi Pencaksilat. Padahal Pancasila merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan swasta.
Demikian diungkapkan J.E. Sahetapy ketika menyampaikan keterangan di hadapan Majelis Hakim Panel Khusus pada sidang pengujian UU BHP, Selasa (8/12), di ruang sidang pleno MK. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 126/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh 14 Pemohon yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (disingkat Asosiasi BPPTSI atau ABPPTSI). Sidang mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi, dan Ahli Pemohon serta Pemerintah.
Sahetapy sebagai Ahli dari Pemohon juga menjelaskan bahwa UU BHP mengembalikan penyeragaman yang menjadi khas pada masa Orde Baru. "Fenomena penyeragaman hanya akan mematikan gagasan serta inisiatif yang berkembang di masyarakat," jelasnya.
Semangat reformasi, lanjut Sahetapy, yang digembar-gemborkan diusung dalam UU BHP ini tidak tampak nyata. "Kenyataannya bukan reformasi yang terjadi, melainkan deformasi dalam dunia pendidikan. Hal ini hanya akan mematikan bunga-bunga bangsa dari Sabang sampai Merauke dan menjadikannya sebagai bunga bangkai," cetusnya.
Oleh karena itu, Sahetapy berpendapat agar UU BHP diabaikan. "Hukum yang jelek, dalam hal ini UU BHP, sudah tidak bisa lagi didandani sedemikian rupa. Maka yang dapat dilakukan hanya satu, yakni membuangnya ke keranjang sampah," tegasnya.
Sementara itu Ahli Pemohon, Sofian Effendi menjelaskan bahwa pada saat RUU BHP disusun dibuat dengan tujuan untuk memperkuat status satuan pendidikan yang dikelola Pemerintah yang masih sering disamakan dengan lembaga atau instansi pemerintah. "RUU BHP pada saat itu dibentuk bukan untuk diterapkan untuk penyelenggara pendidikan swasta baik yayasan maupun perkumpulan. Hal ini karena penyelenggara pendidikan swasta dianggap sudah berbentuk badan hukum dan memiliki otonomi," jelasnya.
Sofian yang juga terlibat dalam pembentukan RUU BHP sebagai Perwakilan Rektor se-Indonesia menjelaskan UU BHP pada akhirnya tidak memiliki tujuan yang jelas. "UU BHP justru terfokus pada penyeragaman antara satuan pendidikan yang dikelola Pemerintah, swasta dan masyarakat," jelasnya.
Dalam persidangan ini, Pemerintah juga mengajukan Ahli, yakni Johannes Gunawan. Johannes menjelaskan bahwa penyusunan UU BHP sesuai dengan Putusan MK Nomor 021/PUU-VII/2006. Dalam Putusan MK tersebut, lanjut Johannes, MK memperingatkan agar embrio UU BHP tidak boleh mengabaikan dan menafikkan badan pendidikan swasta. "Peringatan MK itu sudah diterapkan dalam UU BHP yang telah disahkan dengan membedakan perlakuan antara PTN dengan PTS. Jika PTN harus memisahkan penyelenggara pendidikan dengan badan hukumnya, maka untuk swasta tidak diperlakukan hal yang sama," jelasnya.
Selain itu, menurut Johannes, UU BHP tetap mengakui badan pendidikan yang berdiri sebelum disahkannya UU BHP sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan. "Selain itu, yayasan tidak perlu mengubah bentuknya untuk jangka waktu yang tertera dalam akta pendiriannya," jelasnya.
Pemohon meminta pengujian terhadap 76 pasal dalam UU BHP, yakni Pasal 1 butir (5) sepanjang anak kalimat " ……. dan diakui sebagai badan hukum pendidikan", Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 67 ayat (2), (4) dan Pasal 62 ayat (1) sepanjang menyangkut pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif, serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dari UU BHP beserta Penjelasan pasal-pasal tersebut.
Menurut Luhut, Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2). (Lulu A.)