Menyoal UU Penodaan Agama
Rabu, 02 Desember 2009
| 15:17 WIB
Para Kuasa Hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama sedang memaparkan perbaikan permohonannya dalam sidang uji UU Penodaan Agama, Rabu (2/12), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Annisa Lestari)
Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan perkara uji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Rabu (2/12), di ruang sidang panel MK. Pemohon terdiri dari lembaga dan perseorangan, yakni Imparsial yang diwakili Rachland Nashidik, ELSAM oleh Asmara Nababan, PBHI oleh Syamsuddin Radjab, Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos) oleh Anton Pradjasto, Perkumpulan Masyarakat Setara oleh Hendardi, Desantara Foundation oleh Muhammad Nur Khoiron, YLBHI oleh Patra Mijaya Zen, Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan KH Maman Imanul Haq. Sidang perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. Norma materiil yang diujikan adalah Pasal 1 UU a quo yang berbunyi "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan." Lalu, Pasal 2 ayat (1) "Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri." Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) "Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri".
Pasal 3 berbunyi "Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun".
Pasal kelima yang diajukan Pemohon adalah Pasal 4 yang berbunyi "Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga , yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Para Pemohon mengajukan uji materi UU a quo karena beranggapan bahwa UU tersebut sudah tidak lagi relevan dengan nilai-nilai demokrasi dan perlindungan HAM yang dianut dalam UUD 1945 hasil perubahan. Para Pemohon menilai adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu dalam UU a quo. Selain itu, para Pemohon juga beranggapan bahwa pembubaran dan pelarangan organisasi/aliran seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen, dan terbuka bukan ditentukan oleh pemerintah semata.
Dalam persidangan, Pemohon melampirkan 34 alat bukti, mulai P1-P34 yang kemudian disahkan oleh Majelis Hakim yang dipimpin Achmad Sodiki dan didampingi Muhammad Alim dan Harjono. "Kami juga memohon pada Majelis Hakim agar mengizinkan kami mengajukan ahli dari luar melalui teleconference," pinta Pemohon.
Hakim Ahmad Sodiki mempersilahkannya dan menyarankan agar daftar saksi dan ahli diserahkan ke Panitera. (Yazid)