Penggunaan metode e-voting (pemilihan melalui alat elektronik) dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Kabupaten Jembrana merupakan salah satu cara untuk menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga akan lebih murah dan efektif. Melalui e-voting, hasil perolehan suara maupun partai dapat diperoleh lebih cepat. Untuk itu diperlukan landasan hukum yang jelas supaya metode ini dapat diterapkan.
Demikian yang dikatakan Andi M. Asrun, Kuasa Hukum I Gede Winasa, yang menjadi Pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), di ruang sidang panel MK, Selasa (1/12).
"Metode e-voting juga semakin menjamin terselenggaranya kepastian hukum terkait hak pilih warga negara. Jadi pengakuan hak bagi pemilih bisa terakomodasi tanpa harus mengalami kesulitan. Metode ini juga bisa lebih menjamin kejujuran tanpa bisa menghilangkan hak pilih dan suara yang bisa digandakan," tutur Asrun dalam perkara Nomor 147/PUU-VII/2009 ini.
Selain itu, dana yang begitu besar hingga mencapai Rp. 11 milyar dari APBD, menurut Asrun, bisa ditekan melalui metode e-voting. "Metode ini telah diuji coba dalam empat kali pemilihan kepala dusun di Jembrana. Dari pelaksanaan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa selain mengirit biaya karena tidak menggunakan kertas, juga menghemat waktu. Calon pemilih dengan hanya menggunakan KTP yang sudah dilengkapi chip penyimpan data untuk mendaftar kemudian menuju bilik suara dan menyentuh gambar calon yang tertera pada layar monitor untuk dipilih," ujarnya.
Dalam petitumnya, Pemohon menginginkan MK supaya menyatakan Pasal 88 UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 secara besyarat (conditionally unconstitutional). Selanjutnya pasal tersebut juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang berkenaan dengan penerapan metode e-voting dalam Pemilihan Kepala Daerah/Wakil kepala Daerah Kabupaten jembrana tahun 2010.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki memberikan nasehat kepada Pemohon menyangkut implikasi permohonan apabila dikabulkan. "Ketika dibatalkan oleh MK, apakah dareah yang lainnya juga telah siap. Mungkin pemakaian metode e-voting hanyalah masalah teknis di antara pilihan lain yakni mencontreng dan mencoblos. Apakah (metode ini) juga telah dikonsolidasikan dengan KPU setempat?" tanyanya kepada Pemohon.
Menjawab pertanyaan Hakim, Andi mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan seminar dengan KPU tentang penerapan metode ini. Hasilnya, memang metode ini lebih efisien dan hemat. "Terkait pelaksanaan pemilukada dengan penerapan metode e-voting di Jembrana, maka KPU dan pihak kami menginginkan adanya landasan hukum yang jelas," tegasnya.
"Kami juga berharap dengan penerapan metode ini bisa menjadi contoh untuk daerah lainnya ke depan. Hal yang baru dan memiliki manfaat luas harus kita mulai," sambung Asrun.
Sebelum persidangan selesai, Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki memberikan masukan bahwa, "mungkin, dalam petitum, Pemohon bisa meminta Pasal 88 tetap konstitusional meskipun menggunakan metode e-voting, pencontrengan, dan pencoblosan mengingat daerah yang lain tidak semua memiliki dan menggunakan metode tersebut," katanya. (RNB Aji)