Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materil UU No. 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat (UU Kab. Maybrat) yang diajukan oleh Sadrak Moso, Yeremias Nauw, Martinus Yumame, Izaskar Jitamu dan Willem NAA. Demikian amar putusan Nomor 18/PUU-VII/2009 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Selasa (24/11), di Gedung MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa proses pembentukan Kabupaten Maybrat yang semula hanya meliputi enam distrik menjadi sebelas distrik serta pertimbangan yang semula menetapkan ibukota Kabupaten Maybrat di Fategomi (segitiga emas), kemudian berubah wilayahnya menjadi sebelas distrik dengan Ibukota Kumurkek di Distrik Aifat atas dasar surat resmi-surat resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, dan menjadikan Kumurkek sebagai ibukotaKabupaten Maybrat.
“Penentuan Ibukota Kabupaten Maybrat sudah melalui kajian ilmiah dan musyawarah masyarakat adat yang termasuk wilayah Maybrat. Wilayahnya meliputi Distrik Aifat, Distrik Aifat Timur, Distrik Ayamaru, Distrik Ayamaru Utara, Distrik Mare dan Distrik Aitinyo,” ujar Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.
MK juga berpendapat baik proses maupun substansi Pasal 7 UU 13 Tahun 2009 tersebut tidak terdapat persoalan konstitusionalitas baik proses pembentukannya maupun substansial. Para Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional setelah diberlakukannya Pasal 7 Undang-Undang a quo adalah letak Kumurkek yang sulit dijangkau sehingga pelayanan pemerintahan tidak efektif, tidak dipenuhinya rasa keadilan, terpecahnya ikatan persatuan, dan timbulnya konflik kesukuan. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, MK berpendapat bahwa hal demikian bukan merupakan kerugian konstitusional seperti yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK.
“Hal tersebut juga bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 28H ayat (1), karena para Pemohon sesungguhnya tidak kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” jelas Sodiki.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Pemohon dalam kualifikasi sebagai perorangan atau sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan yang sama diakui untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945. Akan tetapi ternyata bahwa dalam kualifikasi demikian tidak ada satupun hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo, khususnya Pasal 7 UU 13/2009 seperti yang didalilkan. “Oleh karena itu, MK berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo,” jelas Sodiki.
Terlepas dari tidak terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, MK menyarankan agar penentuan Ibukota Kabupaten Maybrat dimusyawarahkan kembali oleh DPRD Kabupaten Maybrat, Bupati Kepala Daerah Kabupaten Maybrat, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Pasal 7 ayat (2) UU 32/2004 menyatakan, ”Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Oleh sebab itu, MK berpendapat, apabila Pemerintahan Kabupaten Maybrat sudah berjalan, artinya fungsi-fungsi DPRD, Bupati, dan instansi-instansi sudah efektif berjalan, maka pemindahan Ibukota Kumurkek ke tempat lain dapat dilakukan sesuai dengan kehendak masyarakat yang dapat disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maybrat dan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Maybrat.
Dalam permohonannya, Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya karena Pasal 7 UU 13/2009 yang menyatakan bahwa Ibukota Kabupaten Maybrat berkedudukan di Kumurkek Distrik Aifat, karena Kumurkek sulit dijangkau, pelayanan pemerintahan tidak efektif, tidak memenuhi rasa keadilan, memecah ikatan persatuan, dan menyebabkan konflik kesukuan. Oleh karena itu, Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (Lulu A.)