Malang, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk mengawal hak-hak konstitusional warga negara yang dulu, sebelum reformasi, hak-haknya banyak dilanggar baik oleh sesama warga negara maupun oleh aparat negara.
Itulah pernyataan awal Ketua MK Moh. Mahfud MD ketika mengisi ceramah umum bertema “Peranan Mahkamah Konstitusi RI dalam Mengawal Hak-hak Konstitusional Warga Negara dan Kewenangan Lembaga Negara”, Sabtu (21/11), di Universitas Merdeka Malang.
Sebelum terjadi perubahan konstitusi, Mahfud menyontohkan, masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi warga negara antara lain dengan membatasi hak politik warga negara untuk mengikuti pemilihan umum maupun membatasi hak menyatakan pendapat melalui pembredelan pers. Terhadap beragam persoalan pelanggaran HAM itulah, maka para perumus perubahan UUD menyepakati hak konstitusional warga negara dicantumkan secara lengkap di dalam konstitusi.
Konstitusi yang baru, lanjut Mahfud, membalik residu tentang hak asasi yang semula merupakan sisa dari kekuasaan pemerintahan, kini menjadi hak asasi diakui dan diatur terlebih dahulu, “baru kemudian kekuasan pemerintah dibatasi sekaligus diberlakukan sistem checks and balances antar lembaga kekuasaan,” papar Mahfud.
Bersamaan dengan perubahan konstitusi, sambung Mahfud, dibentuklah MK yang diberi kompetensi mengawal hak konstitusional warga negara melalui empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimilikinya, antara lain, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilihan umum baik legislatif, presiden-wakil presiden, dan kepala daerah, serta wajib memutus pendapat DPR yang menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar Undang-Undang Dasar. “Sejak adanya MK, tidak kurang dari 280 perkara pengujian undang-undang dan tidak kurang dari 60 perkara yang dikabulkan sejak enam tahun berdirinya MK,” jelasnya.
Menambah penjelasan Ketua MK, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki juga menyatakan bahwa dalam pengujian undang-undang ada kecenderungan MK berani menerobos ketentuan formal jika suatu rasa keadilan tidak bisa dicapai. “Ada tuntutan keadilan yang substansial sehingga Mahkamah tidak bisa membiarkan berlangsungnhya ketidakadilan karena terbelenggu ketentuan formal,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Sodiki, tafsir MK melalui putusan-putusannya mewarnai perkembangan ilmu hukum di Indonesia. sebagaimana prinsip judge made law, papar Sodiki, Mahkamah juga berfungsi menjadi pelengkap norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang digali atas dasar rasa keadilan dan proporsionalitas. Mahkamah, dalam perkara pemilu, juga tidak hanya bertugas menghitung suara yang benar namun juga memastikan prosesnya berlangsung benar. Dalam memutus perkara tentunya Mahkamah mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti aspek politik, ekonomi, dan sebagainya. “Integrated pemikiran inilah yang menghasilkan putusan-putusan itu, sehingga bagi para sarjana hukum yang hanya mendasarkan pada kepastian hukum semata, tentunya tidak akan bisa menerima putusan MK,” jelasnya. (Wiwik Budi Wasito)