Malang, MKOnline - Demokrasi adalah konsep politik yang biasanya keputusan-keputusannya diambil berdasarkan menang-kalah, berdasarkan suara terbanyak, meskipun mungkin belum tentu benar hasil yang disepakatinya. Hal ini justru berbahaya
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD ketika memberi kuliah umum bertema “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Hukum dan Demokrasi” di hadapan civitas akademika Universitas Islam Malang, Sabtu (21/11), di Malang.
Berbahaya, sambung Mahfud, jika demokrasi bergeser menjadi oligarki artinya keputusan-keputusan negara itu dilakukan oleh elit politik saja melalui proses kolusi di antara mereka sendiri untuk mengambil keuntungan bagi mereka sendiri, dan bukan untuk rakyat.
Demokrasi menentukan bahwa suara rakyat terbanyak memang menentukan, dan Indonesia dinilai telah berhasil melaksanakan demokrasi. “Namun perlu diingat bahwa keberhasilan itu masih sebatas keberhasilan demokrasi prosedural. Tapi secara diam-diam keputusan politik di negeri ini dilakukan secara oligarki bukan demokrasi,” jelas Mahfud.
Untuk itu, urai Mahfud, demokrasi harus tetap dipertahankan tanpa menggesernya dari konsep asli dengan cara membangunnya bersama-sama dengan nomokrasi (negara berdasar hukum). Demokrasi dan nomokrasi dibangun secara interdependent. “Politik tapan hukum itu dzolim. Sebaliknya, hukum tanpa dikawal kekuasaan politik akan lumpuh.
Dalam konteks yang lebih besar, lanjut Mahfud, agar demokrasi tidak menimbulkan anarkhi atau oligarkhi, maka ada MK dan MA untuk mengawal demokrasi atau tidak berjalan sewenang-wenang. Kedua lembaga peradilan ini bisa mengawal berjalannya demokrasi lewat proses judicial review untuk memastikan tegaknya prinsip demokrasi dan prinsip keadilan.
Menambah keterangan Mahfud, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki juga menjelaskan bahwa terjadinya reformasi, termasuk reformasi di bidang hukum dan demokrasi, karena dua hal, pertama, karena adanya negara yang otoriter sehingga rakyat berkeinginan menjadi negara yang demokratis. Kedua, karena adanya pemerintahan yang sentralistis yang ingin diubah menjadi pemerintahan desentralistis.
Dari otoriter ke demokratis, imbuh Sodiki, membuka kesempatan bagi semua warga negara untuk meraih kesempatan yang sama. Demokrasi membuka kompetisi antar warga negara untuk mencapai kesejahteraan. MK, menurut Sodiki, juga sudah berkontribusi dalam membuka kran kesempatan dalam demokrasi, salah satunya, melalui putusan calon independen. “Sementara untuk bisa memenangi kompetisi di era keterbukaan ini, diperlukan adanya kualitas yang baik dari masing-masing orangnya,” papar Sodiki. (Wiwik Budi Wasito)