Uji UU Pemilu. Penghitungan Kursi Tahap Tiga Multiinterpretatif
Kamis, 19 November 2009
| 19:01 WIB
Seorang pengunjung sedang menonton sidang uji UU Pemilu, Rabu (18/11), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Wiwik Budi Wasito)
Ada kekosongan hukum terkait penghitungan kursi tahap ketiga dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), sehingga hal ini mengakibatkan multitafsir, meskipun sudah ada Pasal 205, 206, 207, dan 208 yang mengaturnya. Demikian disampaikan Hasyim Asy’ari, Ahli Bidang Hukum dan Politik, yang didatangkan Pemohon dalam sidang perkara Nomor 119/PUU-VII/2009, Rabu (18/11/2009), di ruang sidang pleno MK. Hasyim melanjutkan bahwa memang ada yang sama dari Pemilu 2004 dan 2009, yakni besaran pemilihan dan mekanisme pencalonan. Namun, mengenai metode pemberian suara dan formula perolehan kursi DPR-nya berbeda.
Selain Hasyim, hadir pula Eep Saefullah Fatah, Ahli Bidang Politik, dan M. Fajrul Falaakh, Ahli Hukum Tata Negara. Fajrul Falaakh mengatakan bahwa fakta multiinterpretasi pasal-pasal a quo itu kongkrit adanya. "Dua faktor penting penghitungan tahap ketiga adalah one man one vote, dan persoalan representasi," ujar Fajrul. Sementara Eep Saefullah Fatah lebih berpendapat bahwa ketika Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Pemilu 2009 ditentukan dengan suara terbanyak, mestinya parpol tidak memiliki kewenangan lagi untuk menentukan representasi penghitungan sisa kursi.
Sidang yang mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, Dedy Djamaluddin Malik, adalah menyoal Pasal 206 UU Pemilu yang menyatakan: "Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak." (Yazid)