Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Dasar Penerbitan SBSN Dianggap Inkonstitusional
Kamis, 19 November 2009
| 18:38 WIB
Dari kiri ke kanan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Arsyad Sanusi, dan Maria Farida Indrati memimpin sidang uji UU SBSN, Kamis (19/11), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Prana Patrayoga Adiputra)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan tentang uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN), Kamis (19/11), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 143/PUU-VII/2009 ini diajukan oleh Bastian Lubis yang berprofesi sebagai dosen. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa sembilan pasal dalam UU SBSN, yakni Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 18, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 UUD 1945. "Pasal 10, 11 dan 12 UU Nomor 19 Tahun 2008 bertentangan UUD 1945 karena telah menjaminkan aset Negara senilai triliunan rupiah sebagai alas atau jaminan penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia," jelas Bastian. Bastian menjelaskan bahwa tindakan Pemerintah melalui Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Warga Negara Republik Indonesia dan juga seluruh Warga Negara Republik Indonesia. "Hal tersebut karena dengan diberlakukannya Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU SBSN, maka negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, seperti yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia," jelasnya Menurut Bastian, dalih pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, antara lain: (1) penjualan dan/ atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (2) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. "Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain," ujarnya. Sedangkan, dalam Pasal 12 ayat (1) UU SBSN dinyatakan bahwa "Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, ...", yang berarti bahwa Pemerintah selama aset tersebut menjadi alas penerbitan SBSN, tidak memiliki kebebasan dalam memanfaatkan Aset Milik Negara. "Selain itu, bila Menteri tidak mampu membeli kembali aset tersebut, maka Pemerintah akan kehilangan aset tersebut yang pada gilirannya akan mengancam kemampuan Pemerintah dalam menyediakan layanan serta kewajiban kepada warga negaranya," jelasnya.
Bastian juga menganggap norma yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasat 12 UU SBSN mencerminkan ketidakkonsistenan pembuat undang-undang sehingga merugikan hak konstitusional warga negara, termasuk Pemohon. Hal ini, lanjut Bastian, karena berakibat tidak terjaminnya aset Pemerintah yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut di tangan Pemerintah. "Semuanya akan mengakibatkan terkendalanya pelaksanaan peran dan fungsi konstitusional Pemerintah dalam menyediakan layanan kepada seluruh warga negaranya, termasuk hak-hak Pemohon dalam melaksanakan kegiatan di bidang pendidikan tinggi," jelasnya. Menanggapi pernyataan Pemohon, Majelis Hakim Panel mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya pasal ini. "Pemohon seharusnya menguraikan dengan detail hak konstitusionalnya yang terlanggar dengan adanya pasal a quo. Jangan seperti teori sapu jagat memasukkan semua pasal dalam UUD 1945," tegas Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar pemohon mencari pasal yang benar-benar bertentangan. "Permohonan Pemohon terlihat masih parsial dan tidak komprehensif," ujarnya.
Majelis Hakim Panel memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A.)