Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Selasa (17/11/2009), di ruang sidang pleno gedung MK. Panel hakim sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini adalah M. Arsyad Sanusi sebagai ketua, dan dua Hakim Anggota Panel Achmad Sodiki dan Harjono.
Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 ini terdiri dari tujuh Pemohon badan hukum privat, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perseorangan, yakni, K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, KH. Maman Imanul Haq. Para Pemohon memberikan kuasa kepada 50 kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
Para Pemohon menganggap Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4a UU No. 1/PNPS/ 1965 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Prinsip ini juga dapat dimaknai bahwa tidak ada hukum yang istimewa.
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 yang menyatakan "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.", oleh Pemohon, dinilai menunjukan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Hal ini dianggap sebagai bentuk kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU a quo sebagai hukum proseduralnya, menjadi bertentangan pula dengan UUD 1945.
Mengenai pembubaran dan pelarangan terhadap organisasi/aliran oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.1/PNPS/1965, bertentangan dengan prinsip negara hukum karena pembubaran dan pelarangan organisasi/aliran seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen, dan terbuka.
Dengan demikian, Pasal 3 dan hubungannya dengan Pasal 1 dan 2 UU a quo nyata-nyata membatasi kebebasan mereka yang beragama atau berkeyakinan selain keenam agama yang dilindungi, penghayat kepercayaan, dan kelompok atau aliran minoritas dalam keenam agama tersebut. Hal ini dianggap bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang dilindungi dalam Pasal 28 E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Sedangkan Pasal 4 huruf a UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan jaminan kebebasan di atas. Hal ini dikarenakan rumusan Pasal 4 huruf a UU a quo membuat pelaksanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Karenanya hal ini bertentangan dengan hak persamaan di muka hukum Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Hak atas kebebasan beragana, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Mengkritisi permohonan pada Pasal 1 UU aquo, Hakim konstitusi Harjono berargumen, di satu sisi Pemohon meminta adanya kesetaraan, perlindungan, dan penghapusan diskriminasi terhadap agama atau aliran tertentu. Tapi di sisi lain, menurut Harjono, Pemohon dalam petitumnya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan ketentuan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. "Hal ini tidak match, karena jika dinyatakan bertentangan, maka pasal a quo dinyatakan batal demi hukum," jelas Harjono.
Jika yang menjadi permasalahan adalah Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965, lanjut Harjono, maka Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 menjadi tidak berarti sebab ketiga pasal itu tidak mungkin dilaksanakan jika tidak ada pasal 1. Harjono juga mengingatkan kepada Kuasa Hukum bahwa dalam UU tersebut tidak terdapat Pasal 4a. "Yang ada adalah pasal 4, bukan 4a," kata Harjono.
Sementara itu, menurut Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, seandainya Pasal 1 dibatalkan, "bagaimana jika ada seseorang menyampaikan di depan umum tentang sesuatu yang dianggap menyimpang ajaran agama, lalu terjadi chaos. "Bagaimana cara penyelesaiannya jika tidak ada pasal ini?" tanya Sodiki.
Sodiki juga mengkritisi dalil Pemohon yang menyatakan perlindungan terhadap agama dibedakan dengan perlindungan terhadap orang. Menurut Sodiki, keduanya tidak bisa dibedakan, sebab adanya agama karena adanya orang.
Sementara itu, Ketua Panel Hakim Arsyad Sanusi mengingatkan kepada Pemohon untuk merenungkan kembali permohonan uji Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965. Sebab jika UU ini dibatalkan, lanjut Arsyad, tak ada lagi payung hukum jika ada orang yang melakukan penghinaan dan penodaan terhadap agama.
Mahkamah memberi kesempatan 14 hari kerja kepada Pemohon atau kuasanya untuk memperbaiki permohonan. (Nur R.)