Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), Selasa (17/11), di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi, dan Ahli Pemohon serta Pemerintah.
Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 126/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh 14 Pemohon yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (disingkat Asosiasi BPPTSI atau ABPPTSI).
Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Luhut M. P. Pangaribuan, dkk, mengajukan empat orang Ahli, yakni Fadjroel Falaakh, Djoko Prayitno, Milly Karmila dan Abdul Hakim Garuda Nusantara. Dalam keterangannya, Pakar Hukum Tata Negara UGM Fadjroel Falaakh mengemukakan bahwa yayasan sebagai penyelenggara pendidikan telah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 juncto UU Nomor 28 Tahun 2004 (UU Yayasan). UU Yayasan, jelas Fadjroel, menjelaskan bahwa yayasan tidak digunakan sebagai kegiatan usaha maupun tidak dapat melakukan kegiatan usaha. "Secara jelas, UU Yayasan menegaskan bahwa sebuah yayasan berbentuk badan hukum nirlaba seperti yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU BHP. Lalu, kalau sudah berbentuk badan hukum nirlaba. Lantas, apa yang mau diatur lagi oleh UU BHP?" jelasnya.
Fadjroel mengungkapkan adanya masalah sinkronisasi internal dalam setiap pasal dalam UU BHP. Fadjroel mencontohkan Pasal 10 UU BHP yang menyatakan "satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan". "Pasal 10 UU BHP melarang yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Padahal yayasan seperti yang tercantum dalam UU Yayasan dan badan hukum pendidikan seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) memiliki definisi sama, yakni bersifat nirlaba," ungkapnya.
Hal ini menyebabkan adanya ketidaksinkronan antara UU BHP dengan UU Yayasan yang mengatur yayasan sebelumnya. "Padahal seharusnya UU Yayasan menjadi konsideran dalam UU BHP. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan kekacauan internal yang tampak nyata pada pengakuan terhadap eksistensi yayasan penyelenggara pendidikan sebagai BHPM dengan hak-hak badan hukum," tukasnya.
Sementara itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara menjelaskan bahwa yayasan sebagai badan hukum juga memiliki hak dasar yang dilindungi dan diakui oleh UUD 1945. "Pengakuan hak asasi manusia juga dapat diperluas bagi badan hukum dan telah disetujui oleh PBB," ujarnya.
Hakim juga berpendapat bahwa UU BHP telah mendelegitimasi dan mengeliminasi hak yayasan sebagai badan hukum. "Tidak hanya itu, UU BHP justru mempersempit hak rakyat mendapat pendidikan serta melanggar hak rakyat mendapatkan pendidikan seperti yang tercantum dalam UUD 1945," sambungnya.
Menilik dari tata kelola, Djoko Prayitno beranggapan bahwa Pasal 15 sampai dengan Pasal 36 UU BHP membahas mengenai teknis pelaksanaan tata kelola. "Padahal seharusnya UU BHP hanya membahas struktur dasar tata kelola. Hasilnya UU BHP seolah ingin menyeragamkan tata kelola pendidikan," ujarnya.
Djoko menyayangkan keseragaman tersebut yang dianggapnya melanggar hak asasi dan kebhinekaan yang dijamin oleh UUD 1945. "RRC yang merupakan negara komunis saja, sekarang menerapkan keberagaman dalam dunia pendidikannya dengan mengadaptasi pola pendidikan di Hongkong. Lantas, kita yang menganut Pancasila dan paham demokrasi justru malah kembali pada keseragaman melalui UU BHP ini," jelasnya.
Para pemohon meminta pengujian terhadap 76 pasal dalam UU BHP, yakni Pasal 1 butir (5) sepanjang anak kalimat " ……. dan diakui sebagai badan hukum pendidikan", Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 67 ayat (2), (4) dan Pasal 62 ayat (1) sepanjang menyangkut pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif, serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dari UU BHP beserta Penjelasan pasal-pasal tersebut. Menurut Luhut, Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2).
Pemerintah beserta ahli Pemerintah dijadwalkan memberikan keterangan pada sidang berikutnya. (Lulu A.)