Uji UU Pemda: Syarat Jumlah Dukungan dalam Pemilukada Dianggap Memberatkan
Selasa, 10 November 2009
| 14:35 WIB
Tejo Hariono (kiri) dan Muhammad Sholeh menjadi Pemohon dalam uji UU Pemda, Selasa (10/11), di ruang sidang panel MK. Mereka mempersoalkan kuota dukungan bagi calon independen kepala daerah. (Humas MK/Wiwik Budi Wasito)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Selasa (10/11), di ruang sidang panel MK. Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 141/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Muhammad Soleh. Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan dua norma untuk diuji, yakni Pasal 59 ayat (2a) huruf a, b, c, d dan ayat (2b) huruf a, b, c, d. Pemohon mendalilkan bahwa penerapan pasal a quo untuk kepentingan partai politik (pembuat UU) yang duduk di parlemen. "Hal ini membatasi ruang gerak warga negara yang ingin mencalonkan diri melalui jalur perseorangan termasuk Pemohon yang akan mencalonkan diri menjadi Walikota Surabaya pada tahun 2010," jelas Soleh.
Selain itu, Soleh juga menjelaskan setiap calon kepala daerah memerlukan dukungan dari masyarakat termasuk calon kepala daerah dari unsur perseorangan, namun persyaratan yang terdapat pada pasal a quo terlalu memberatkan. "Adanya persyaratan harus didukung sekurang-kurangnya tiga persen, empat persen, lima persen, dan enam-setengah persen hanya akan menguntungkan calon Kepala Daerah dari jalur perseorangan yang memiliki uang lebih, dan hal ini menimbulkan money politic," ungkapnya.
Pemohon juga beranggapan bahwa persyaratan minimal dukungan suara yang berbeda-beda tergantung pada jumlah penduduk daerah tersebut sangat merugikan. "Keberadaan pasal a quo telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum seperti diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945," jelas Soleh. Ketua Majelis Hakim Panel Harjono menyarankan agar Pemohon mengargumentasikan permohonannya terutama karena Pemohon berbicara tentang angka-angka. "Pemohon harus menjelaskan angka-angka yang adil itu berapa. Kalau permohonan Pemohon dikabulkan, maka tidak ada angka yang menjadi syarat bagi calon independen. Hal ini harus diargumentasikan dengan baik," ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan jika Pemohon mempersoalkan tentang persentase calon independen dalam Pasal 59 ayat (2a) dan (2b), maka seharusnya Pemohon juga mempersoalkan persentase bagi partai politik (parpol). "Sebenarnya bukan kewenangan MK untuk menentukan jumlah persentase. Oleh karena itu, lebih baik Pemohon mengkonstruksikan kembali permohonannya," jelasnya.
Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sebelum melanjutkan pada sidang perbaikan permohonan. (Lulu A.)