Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) dimohonkan oleh Ramsees Ohee dan Yonas Alfons Nusi, Kamis (15/10), di Ruang Sidang Panel, Gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 116/PUU-VII/2009 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, Gubernur Papua, saksi dan ahli dari Pemohon.
Dalam persidangan ini, Pemohon menghadirkan ahli, yakni Ibnu Tricahyo. Ibnu menjelaskan bahwa masyarakat asli Papua mempunyai hak untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan Provinsi Papua melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua. “Kuota 11 kursi dalam DPRP seharusnya milik masyarakat adat Papua, tapi sekarang justru diduduki oleh parpol,” jelas Ibnu.
Menurut Ibnu, walaupun mungkin sebagian dari anggota DPRP yang berasal dari parpol merupakan masyarakat asli Papua, tetapi tidaklah murni akan menyuarakan aspirasi masyarakat asli Papua. “Walaupun anggota DPRP yang terpilih sekarang adalah masyarakat asli Papua, mereka tetap perpanjangan tangan dari parpol, karena dipilih dari parpol,” tegas Ibnu.
Peranan masyarakat asli papua dalam pembangunan hanya dapat dilakukan melalui DPRP. “Kalau hanya melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) seperti yang tercantum dalam Pasal 5 UU Otsus Papua, masyarakat asli Papua tidak dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan Provinsi Papua. Hanya melalui DPRP, masyarakat asli Papua bisa menjalankan fungsi strategis dalam pembangunan Provinsi Papua,” ujar Ibnu.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin mengungkapkan bahwa Pemohon hanya menyampaikan asumsi saja. “Dalam permohonannya, Pemohon hanya berandai-andai saja. Padahal dalam kenyataannya para Pemohon masih tetap diikutsertakan dalam setiap program pembangunan yang dilakukan oleh Pemda Provinsi Papua,” kata Qomaruddin.
Qomaruddin mengungkapkan bahwa sesungguhnya UU Otsus Papua justru memberikan hak istimewa kepada masyarakat adat Papua. “Pemberian hak istimewa ini dapat dilihat adanya upaya Pemerintah untuk menjamin hak masyarakat adat Papua melalui membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP),” ungkap Qomaruddin.
Oleh karena itu, Qomaruddin menganggap permohonan Pemohon tidak memenuhi kualifikasi. Sementara itu, hadir pula dalam persidangan, Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suaebu sebagai Pihak Terkait.
Dalam keterangannya, Barnabas mengungkapkan bahwa saat ini Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. “Hampir 8 tahun ini, kuota 11 kursi DPRP untuk masyarakat asli Papua diisi oleh parpol yang dipilih melalui pemilihan umum,” jelas Barnabas.
Menurut Barnabas, padahal Pasal a quo disusun untuk mencegah kepunahan masyarakat asli Papua dalam pemerintahan. “Oleh karena itu, diberikan kuota 11 kursi di DPRP. Kami juga sudah memperjuangkannya ke KPU melalui MRP,” jelas Barnabas.
Dalam permohonannya, Pemohon meminta agar MK mengubah Pasal 6 ayat (2) sepanjang frasa ‘… berdasarkan peraturan perundang-undangan’. Pemohon menyatakan bahwa adanya frasa “peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tersebut sangat tidak jelas, bias, multitafsir dan rawan konflik. Hal tersebut dikarenakan tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur pengangkatan anggota DPRP. (Lulu A.)