Uji UU KPK: Asas Praduga Tak Bersalah Melindungi dari Kesewenangan Penguasa
Kamis, 05 November 2009
| 11:33 WIB
Menkumham, Patrialis Akbar, berbicara mewakili pemerintah dalam sidang pengujian UU KPK, Rabu (4/11).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang uji materi Pasal 31 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang digelar pada Rabu (4/11). Agenda persidangan kali ini adalah mendengarkan pandangan terhadap pemutaran rekaman sadapan telepon Anggodo yang dilakukan oleh KPK dan juga mendengarkan keterangan Ahli.
Persidangan ini dihadiri oleh Pemohon yakni Bibit Samad dan Chandra M. Hamzah, pihak Terkait KPK diwakili oleh Khaidir Ramli, dan juga turut hadir pihak Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar.
Pandangan Pemerintah yang dibacakan oleh Patrialis Akbar menjelaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga UU KPK dibentuk guna hal tersebut. Pihak Pemerintah menurut Patrialis menghormati putusan sela MK, akan tetapi Pemerintah mempertanyakan apa alasan pemutaran rekaman penyadapan di MK yang diperdengarkan secara umum pada sidang sebelumnya (3/11).
“Kami hanya ingin meminta penjelasan dan klarifikasi. Apa relevansinya uji Undang-Undang ini dengan mendengarkan rekaman dan juga transkrip rekaman. Hal ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat dan kalangan universitas agar semuanya jelas,” kata Patrialis.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Sidang Pleno MK, Moh. Mahfud MD tersenyum. Menurutnya, tidak terdapat larangan dalam undang-undang manapun ketika Pemohon hendak mengajukan bukti di persidangan.
Pemutaran rekaman dalam persidangan bukan yang pertama kali terjadi di MK. Ketika menguji UU Pornografi, kita mengundang orang untuk menari di sini. UU KPK Pasal 32 diujikan untuk dinyatakan inkonstitusional karena didalilkan ada upaya rekayasa. Ketika Pemohon memberikan bukti rekaman ya kita terima,” jelas Mahfud.
Selain itu, Mahkamah menerangkan bahwa alasan pemutaran sudah jelas. “Semangat yang termuat dalam pasal semuanya baik, akan tetapi pasal yang baik bisa juga direkayasa menjadi tidak baik. Itu yang akan dinilai MK” kata Mahfud.
Asas Praduga Tak Bersalah
Sementara itu, Ahli yang dihadirkan oleh pemohon menjelaskan kaitan antara asas praduga tak bersalah (persumtion of innocence) dengan HAM. Asas praduga tak bersalah dalam hukum dan pemerintahan dimanifestasikan dalam bentuk peraturan yang terkait dengan pemberhentian sementara dan bukan pemberhentian secara tetap pejabat negara yang tersangkut dugaan tindak pidana.
“Konstitusi kita terutama pasal 28D UUD 1945 menganut asas praduga tak bersalah yang merupakan asas hukum untuk melindungi dari kesewenangan dalam masalah perkara pidana," ujar Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Mantan anggota Komnas HAM ini juga menambahkan, asas praduga tak bersalah merupakan bentuk perlindungan atas tindakan kesewenang-wenangan maupun pencemaran nama baik yang terbentuk oleh masyarakat maupun penguasa. Dalam hal ini, si terdakwa tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum ada pembuktian di dalam pengadilan.
“Ketika Konstitusi kita menganut asas praduga tak bersalah, maka konstitusi Indonesia menjamin peradilan yang fair tanpa adanya intervensi,” ungkap Abdul Hakim.
Setelah mendengarkan pandangan dan juga mendengarkan kesaksian Ahli, Majelis Hakim Sidang Pleno mengesahkan bukti-bukti yang diserahkan oleh Pemohon dan pihak Terkait. Selanjutnya Majelis Sidang juga meminta pada masing-masing pihak yang berperkara memberikan kesimpulan sidang secara tertulis kepada MK.
“Sampai hari Rabu depan (11/11) pukul 12.00 WIB, Mahkamah menunggu kesimpulan tersebut. Setelah itu kami akan membawa kesimpulan dalan Sidang Permusyawaratan Hakim (RPH) dan akan memutuskan perkara ini dalam persidangan selanjutnya dengan agenda pembacaan vonis,” kata Mahfud MD. (RNB Aji)