Sidang lanjutan pengujian Pasal 31 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali digelar pada Kamis (29/10) usai diskors pasca pembacaan putusan sela atas perkara yang sama di hari yang sama. Sidang Pleno dengan 7 orang hakim MK tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Abdul Mukhtie Fadjar dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Pihak Terkait KPK.
Tiga orang pimpinan KPK yang hadir adalah Mas Ahmad Santosa, Waluyo, dan M Jasin. Namun dari pihak pemerintah belum dapat diperdengarkan keterangannya karena belum memiliki surat kuasa.
Perdebatan sempat terjadi ketika Bambang Widjajanto mengingatkan hakim MK terhadap permintaannya untuk menghadirkan bukti rekaman. Mas Ahmad Santosa yang menanggapi permintaan tersebut meminta agar hakim MK memberi waktu kepada pimpinan KPK untuk bermusyawarah. Namun kemudian Mukhtie Fadjar meminta agar rekaman tersebut dihadirkan dalam persidangan Selasa depan (3/10). Mas Ahmad Santosa dan Bambang Widjajanto sempat berselisih argumen dalam persidangan tersebut. "Kepada Pihak Terkait saya jelaskan bahwa pada mulanya itu memang adalah permintaan Pemohon, namun saat ini sudah menjadi perintah Mahkamah, jadi saudara harus hadirkan rekaman tersebut," kata Mukhtie Fadjar menjelaskan.
Hakim kemudian mempersilahkan Pemohon untuk menghadirkan Ahli. Dalam keterangan keahliannya, Asep Warlan Yusuf, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, menjelaskan mengenai keberadaan Pasal 32 ayat (1) huruf c tersebut dan kesesuaiannya dengan UUD 1945. Asep Warlan Yusuf menegaskan bahwa dalam pemberhentian seorang pejabat dapat juga masuk nilai-niali politis di dalamnya, sehingga menurut Asep untuk membatasi hal tersebut pemberhentian seseorang harus sesuai rasionalitas dan perlindungan hukumnya. "Pemberhentian tanpa rasionalitas harus dianggap tidak memiliki nilai perlindungan hukum," ucap Asep.
Asep juga menjelaskan bahwa dalam konsep perlindungan hukum seseorang yang diberhentikan dari jabatannya disebabkan kesalahan penerapan hukum harus dikembalikan dari jabatannya. Hal itu menurut Asep merupakan perlindungan hukum terhadap kehormatan si pejabat.
Hakim Sodiki kemudian mempertanyakan apakah dalam upaya pengisian dan pemberhentian seorang pejabat juga memperhatikan asas kehati-hatian. Menjawab pertanyaan tersebut Asep berpendapat bahwa asas kehati-hatian merupakan asas yang harus pula digunakan dan juga memiliki ukuran yang jelas ketika menerapkan penjatuhan sanksi pemberhentian dari jabatan terhadap si pejabat. Sifat UU KPK yang lex specialist (berlaku khusus) tidak serta merta menimbulkan kekhususan tanpa sistematis yang jelas.
Setelah mendengarkan keterangan Ahli, Mukhtie Fadjar memutuskan untuk menunda persidangan hingga Selasa (3/11). Salah satu yang akan ditunggu oleh publik terhadap persidangan Selasa depan tersebut adalah dihadirkannya rekaman mengenai rekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK Cahandra dan Bibit. (Feri Amsari)