Kurator merupakan pihak yang independen di luar debitor dan kreditor yang berwenang membereskan masalah kepailitan setelah perusahaan diputus pailit. Sedangkan buruh adalah pekerja perusahaan yang mana tidak selalu harus di-PHK setelah perusahaan dinyatakan pailit.
Demikianlah yang diungkapkan oleh M. Hadi Subhan selaku ahli dari pihak Terkait yakni Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dalam sidang lanjutan uji materi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Rabu (28/10), di Ruang Pleno Gedung MK.
Sidang Perkara Nomor 19/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Tafrizal Hasan Gewang dan Royandi Haikal karena kalimat terakhir rumusan Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan yang menyatakan: "Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara" dapat ditafsirkan membatasi kerja Kurator dalam menerima atau menangani perkara.
Melanjutkan keterangannya, Hadi Subhan menjelaskan bahwa secara filosofis, UU Kepailitan di Indonesia dan negara maju seperti Belanda dan Amerika itu berbeda. Di negara maju, UU kepailitan dijadikan sebagai jalan keluar apabila perusahaan mengalami kesulitan kondisi keuangan (financial distress) sehingga perusahaan mampu menanggung pelunasan hutang. Hal ini menghindari idiom siapa yang kuat dia yang mendapatkan segala sesuatu.
"Berbeda dengan di indonesia, UU Kepailitan justru digunakan untuk bersembunyi bagi yang tidak kuat membayar hutang ataupun bagi mereka untuk menghindar dari pembayaran hutang. Inilah kekeliruan UU Kepailitan di negara kita," ungkap Hadi Subhan.
Selain itu, menurutnya perusahaan yang mengalami financial distress dan kemudian dipailitkan tidak harus identik dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Begitu juga dengan perusahaan yang tidak serta merta harus diberhentikan usahanya apabila dinyatakan pailit," lanjutnya.
Ahli yang merupakan dosen hukum kepailitan di FH Unair tersebut mengingatkan bahwa kalaupun ada PHK, harus sesuai dengan undang-undang dan tidak seenaknya sendiri. "Perusahaan juga harus tetap berjalan karena dengan hal tersebut income akan terus masuk. Kalau berhenti justru merugikan debitor," imbuhnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Hadi Subhan menekankan adanya prinsip ditegakkannya kejujuran. "Di Indonesia menjadi sebuah budaya kalau orang memiliki hutang malah bersikap buat apa membayarnya. Seharusnya, kalau memiliki tanggungan hutang ya harus dipenuhi pembayarannya. Ini semua demi berjalannya usaha dan kepentingan buruh," tegasnya.
Majelis Sidang Panel setelah mendengarkan kesaksian memerintahkan Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait memberikan kesimpulan. "Mahkamah memberikan waktu 14 hari bagi pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan kesimpulan masing-masing secara tertulis kepada MK. Sidang selanjutnya adalah pembacaan putusan," kata Ketua Majelis Sidang Moh. Mahfud MD. (RNB Aji)