Sesungguhnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) memiliki signifikansi bagi keberlakuan UU tersebut, sebab jantung dari UU Pileg adalah mengatur masalah penyelenggaraan pemilu legislatif mulai dari metode pencalonan, cara pemberian suara, hingga pengkonversian suara caleg dan partai. Oleh sebab itu satu perubahan norma pasti mempengaruhi pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU Pileg tersebut.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Ahmad Rosadi Harahap selaku kuasa hukum Pemohon perkara 131/PUU-VII/2009 ini yaitu Dr. Andreas Hugo Pareira, HR Sunaryo dan Dr. Hakim Sorimuda Pohan di ruang sidang MK, Kamis (22/10). Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya sebagai caleg tidak terpilih dirugikan atas berlakunya UU Pileg tersebut. Mereka memohonkan agar seluruh norma UU Pileg dibatalkan oleh MK.
Pemohon dalam persidangan juga mendalilkan bahwa UU Pileg telah "dipreteli" sedemikian rupa oleh MK dan hal tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai suatu Undang-Undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. "Hal ini nyata-nyata UU Pileg tidak menjamin kepastian dalam hukum karena harus dijalankan melalui putusan-putusan MK baik bersifat sengketa PUU, PHPU.A, PHPU.B, PHPU.C, maupun PHPU.D," kata Rosadi.
Kenyataan secara faktual telah dialami oleh para Pemohon karena berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 15 P/HUM/2009 mereka telah ditentukan menjadi anggota DPR namun hal tersebut dianulir oleh putusan MK. "Dengan demikian secara nyata terdapat hubungan kausalitas antara kerugian Pemohon atas diundangkannya UU Pileg yang sama sekali tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum," lanjut Rosadi
Pemohon juga menyatakan bahwa dalam UU Pileg mengandung makna yang selalu berubah-ubah sesuai tafsir sepihak antara lain conditionally constitutional, unconditionally constitutional bahkan pengaturan sepihak yakni self executing oleh putusan MK yang tidak bisa diantisipasi oleh pemohon sebelumnya.
Dalam persidangan ini, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki memberikan pertanyaan kepada Pemohon tentang kerugian konstitusional yang diderita Pemohon atas berlakunya UU Pileg. "Pemohon harus menjelaskan secara rinci kerugiannya. MK menjaga konsistensi Undang-Undang terhadap UUD 1945 bukan terus menggerogoti. Di sini Justru MK memberikan tafsir yang benar atas semuanya biar menjadi jelas," Ujar Hakim Achmad Sodiki.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertanyakan masalah urgensi uji materi UU Pileg ini. "Saat ini kan pemilu telah usai dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD telah dilantik. Kalaupun nanti ada Pemilu 2014 bisa jadi UU Pileg ini juga diubah lagi," ungkap Hakim Alim.
Menanggapi hal tersebut, Rosadi menyampaikan pendapatnya bahwa secara secara de facto dan de jure, UU Pileg masih tetap berlaku selama masih diundangkan. "Jadi masih memiliki nilai penting untuk menjamin kepastian hukum yang adil. UU Pileg sebagai the rule of game dan the rule of law harus menjadi pegangan bersama dan harus dilaksanakan secara bersama," terangnya.
Sementara itu, Dr. Hakim Sorimuda Pohan selaku caleg dari Partai Demokrat yang tidak terpilih mengeluhkan tentang putusan-putusan MK selama ini terhadap pengujian UU Pileg. "Melalui uji UU Pileg ini, kami hanya ingin memperlihatkan bagaimana ketidakkonsistenan MK," tutur Hakim. (RNB Aji)