Lambatnya Birokrasi Timbulkan Ketidakpastian Hukum bagi Perusahaan Pertambangan
Selasa, 27 Oktober 2009
| 09:53 WIB
Tampak di layar suasana sidang uji UU Minerba yang berlangsung di ruang sidang panel Gedung MK, Kamis (22/10). (Humas MK/Andhini SF)
Sidang pengujian terhadap Pasal 172 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/10), di Ruang Sidang Panel MK. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Panel Hakim Maruarar Siahaan beserta dua anggota panel hakim Maria Farida Indarti dan Muhammad Alim ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.
Dalam perbaikannya, Pemohon perkara Nomor 121/PUU-VII/2009 ini tidak lagi memohonkan pembatalan keseluruhan Pasal 172 UU Minerba, melainkan hanya beberapa frase saja dari pasal a quo. "Pemohon merasa diperlakukan secara diskriminatif dengan adanya frasa ‘kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun’ dan ‘sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan’ yang terdapat dalam Pasal 172 UU Minerba," jelas Hamdan. Seharusnya semua permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara yang sudah diajukan sebelum adanya UU Minerba tetap dihormati. "Undang-undang tersebut seharusnya berlaku prospektif, bukan retroaktif," jelas Hamdan.
Para Pemohon sesungguhnya telah beritikad baik, sebagai warga negara yang baik, mengikuti aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dengan baik. Menurut Hamdan, Pemohon telah mengajukan permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perkanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, pengajuan permohonan tersebut belum selesai karena belum dikeluarkannya persetujuan pencadangan wilayah serta persetujuan prinsip atau ijin penyelidikan pendahuluan dari pejabat yang berwenang (Kepala Daerah atau Menteri terkait) karena lamanya prosedur birokrasi yang harus ditempuh walaupun seluruh persyaratan hukum dan administrasi telah dipenuhi. "Dengan adanya ketentuan frasa ‘kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun’ dan ‘sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikkan pendahuluan’ di dalam Pasal 172 UU Minerba, Pemohon merasa tidak mendapatkan jaminan hukum karena segala upaya dan hasil yang telah dicapai Para Pemohon diabaikan, dicampakkan, serta tidak dihormati dan dianggap tidak ada,"jelasnya. Oleh karena itu, dalam perbaikan petitumnya, Pemohon
meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa frasa "kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun" dan frasa "dan sudah mendapatkan surat pesetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan" yang terdapat dalam Pasal 172 UU Minerba tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Pasal a quo sepanjang frasa tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, beserta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," tegas Hamdan. Dalam persidangan ini, Majelis Hakim Konstitusi mensahkan sebanyak 89 alat bukti (P-1 sampai dengan P-56C). (Lulu A.)