Meminta Pemberlakuan Kembali Pasal 118 UU PTUN
Selasa, 27 Oktober 2009
| 08:43 WIB
Ketua Majelis Panel M. Akil Mochtar (tampak di televisi) sedang memberikan nasihat kepada para Pemohon uji UU PTUN, Kamis (22/10), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Andhini Sayu Fauzia)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Kamis (22/10/2009), untuk perkara Nomor 122/PUU-VII/2009 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. Pemohon adalah Aries Ananto, Budijanto Sutikno, dan Elfin Ananto yang diwakili kuasa hukumnya Azis Ganda Sucipta, SH., Wahyudin Achmad Ali, SH. dan Sanusi A. Djajawigoena. Pemohon adalah perseorangan yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya UU PTUN yang baru. Pemohon mendalilkan ketentuan butir 37 UU PTUN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Pemohon tidak dapat melakukan upaya hukum sebagai pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan-putusan PTUN yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan hukum serta rasa keadilan. Pemohon sebenarnya akan melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan perlawananan pihak ketiga (derden verzet) atas putusan PTUN, sebagaimana diatur di dalam Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi: Ayat (1): "Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 (ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pemah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83, dan khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama". Lalu, Ayat (2) UU a quo: "Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63". Selanjutnya, Ayat (3) berbunyi "Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak sesuai dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut".
Menurut Pemohon, upaya hukum di atas tidak dapat dilakukan karena ketentuan yang diatur pada Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986 telah dihapus dengan adanya ketentuan pada butir 37 (yang letaknya berada di bawah Pasal 116) UU PTUN yang menyatakan: "37. Ketentuan Pasal 118 dihapus". Oleh karenanya, Pemohon dalam petitumnya meminta pemberlakuan kembali Pasal 118 UU No. 5/1986 yang dihapus oleh ketentuan UU No. 9/2004. "Kami tidak dapat melakukan perlawanan sebab tidak ada penjelasan tentang pencabutan Pasal 118 tersebut," ujar Pemohon dalam persidangan. Karena ingin berhati-hati terhadap perkara yang dimohonkan, Majelis Hakim Panel akan mendiskusikan terlebih dulu perkara ini dalam rapat pleno Hakim Konstitusi. "Saudara tunggu saja, nanti akan dipanggil MK untuk sidang selanjutnya. Tolong bukti dilengkapi, baik UU 5/1986 dan UU 9/2004 harus difotokopi secara lengkap, sekaligus lampirkan UUD 1945 karena undang-undang (MK) mengatur demikian," pinta Akil Mochtar sebelum menutup persidangan. (Yazid)