Ketika Mantan Teroris Menguji UU Terorisme
Sabtu, 24 Oktober 2009
| 15:29 WIB
Pemohon Prinsipal, Umar Abduh (tengah), sedang menyampaikan permohonannya dalam sidang uji UU Terorisme, Senin (19/10), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Prana Patrayoga Adiputra)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme), Senin (19/10/2009).
Sidang panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini diketuai M. Akil Mochtar, dengan didampingi dua Hakim Anggota Panel M. Arsyad Sanusi dan Abdul Mukthie Fadjar.
Pemohon perkara Nomor 125/PUU-VII/2009 ini adalah Umar Abduh, Haris Rusly, John Helmi Mempi, Hartsa Mashirul H.R. dengan dibantu Kuasa Hukum Ulung Purnama, dkk. Yang hingga persidangan usai, hanya satu Kuasa hukum Pemohon yang tampak di sudut kanan tempat pengunjung sidang karena datang terlambat sehingga Panel Hakim tidak mengizinkannya masuk ke dalam "ring" persidangan.
Pemohon mendalilkan, Pasal 5 UU Terorisme telah mengacaukan dan tidak memberi kejelasan hukum karena memisahkan aksi terorisme dari tujuan, motif, dan tindakan politik sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya, Pasal 17 ayat (1) UU Terorisme memberi kekebalan hukum kepada para pelaku aksi terorisme, jika aksi teror yang dilakukan tersebut didasarkan dan/atau diatasnamakan sebagai tindakan atas perintah resmi suatu organisasi tertentu atau disebut korporasi sehingga hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu Pemohon juga menganggap Pasal 17 ayat (3) UU Terorisme bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat karena batasan pengertian "pengurus" terkait tanggung jawab hukum bagi masing-masing pelaku menjadi tidak jelas sebagaimana diatur dalam prinsip hukum pidana bahwa tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Untuk itu, Pemohon juga menyatakan Pasal 17 ayat (3) a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait Pasal 45 UU Terorisme, Pemohon menganggap ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 mengingat kata "dapat" memiliki makna "tidak wajib".
Pemohon juga mendalilkan bahwa UU Terorisme tidak mengatur dan menetapkan pasal-pasal tentang kewenangan dan monopoli dalam pelaksanaan pemberantasan aksi terorisme kepada Kepolisian RI. Oleh karenanya, Pemohon beranggapan cukup alasan bagi MK untuk membatalkan ketentuan a quo akibat terjadinya tumpang tindih dan kekacauan pelaksanaan serta bertentangannya UU Terorisme dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UUD 1945.
Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Majelis Panel Hakim M. Akil Mochtar menyarankan agar Pemohon lebih memperjelas kerugian konstitusional yang diderita Pemohon atas diberlakukannya pasal-pasal dalam UU Terorisme itu. "Kalau saudara keberatan dengan korporasi, apa hak konstitusional saudara yang dilanggar?" tanya Akil.
Akil mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon. "Saudara teroris?" tanya Akil. "Pernah,” jawab Pemohon Prinsipal Umar Abduh. "Pernah diadili?" tanya Akil. "Pernah,” jawab Umar. "Saudara diadili dengan UU (Terorisme) ini?" tanya Akil. "Dengan undang-undang subversif, karena undang-undang (Terorisme) ini belum lahir waktu itu,” jawab Umar, mantan pengikut Teroris Imran dalam kasus pembajakan pesawat Woyla di Bandara Don Muang, Thailand , 28 Maret 1981.
Di ujung persidangan pemeriksaan pendahuluan, Ketua Panel Hakim memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari dan mempersilakan Pemohon jika ingin mencabut permohonannya. (Nur R.)