Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, Senin (19/10), di ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 130/PUU-VII/2008 ini dimohonkan oleh Habel Rumdiak.
Dalam permohonannya, Habel memohonkan pengujian terhadap 10 pasal dalam UU Pemilu, yakni Pasal 205 ayat (1), Pasal 205 ayat (2), Pasal 205 ayat (3), Pasal 205 ayat (4), Pasal 205 ayat (5), Pasal 205 ayat (6), Pasal 205 ayat (7), Pasal 211 ayat (1), Pasal 211 ayat (2), dan Pasal 211 ayat (3). Habel merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat perbedaan cara penetapan kursi anggota DPR dan DPRD Provinsi. “Cara penetapan kursi DPRD Provinsi yang hanya melalui dua tahap seperti diatur dalam Pasal 211 UU Pemilu bersifat dualisme, diskriminatif, dan tidak adil, dibanding dengan cara pembagian kursi DPR yang dilakukan melalui tiga tahap seperti tercantum dalam Pasal 205 UU Pemilu,” jelas Habel tanpa didampingi kuasa hukum.
Selain itu, Habel keberatan dengan adanya penafsiran dari penyelenggara pemilu (KPU) yang menjadikan suara Partai (akumulasi suara Partai dan caleg) sebagai dasar penentuan kursi yang berkait dengan penetapan calon terpilih untuk pembagian kursi tahap kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 211 ayat (3) UU Pemilu. “Pengaturan tersebut tidak konstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,” ungkap Habel.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya memohon agar MK membatalkan pasal-pasal a quo karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. “Kami juga meminta agar antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 211 UU Pemilu ditambahkan satu sub ayat yang mengatur tentang penetapan kursi DPRD Provinsi tahap kedua, yakni 50% suara BPP dan selanjutnya sisa suara sebagai penetapan tahap ketiga,” ujar Habel.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Anggota Panel Harjono mengungkapkan bahwa penambahan ayat bukanlah kewenangan MK. “MK hanya memiliki kewenangan sebatas menafsirkan saja, tidak bisa menambahkan pasal maupun ayat ke dalam undang-undang,” jelas Harjono.
Sementara Hakim Anggota lainnya, Muhammad Alim, menyarankan agar Pemohon mencermati putusan MK berkaitan dengan pasal a quo karena, berdasarkan Pasal 60 UU MK, ayat atau pasal yang pernah diuji tidak diperbolehkan diuji kembali kecuali kalau Pemohon memiliki alasan berbeda dengan Pemohon sebelumnya. “Maka (hal itu) bisa dipertimbangkan kembali oleh MK seperti yang tercantum dalam Peraturan MK,” jelas Alim.
Pemohon merupakan calon anggota DPRD dan meraih suara terbanyak kedua di Dapil 6 Provinsi Papua. Majelis Hakim Panel memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A.)