Setelah tiga kali dimohonkan pengujian oleh tiga Pemohon berbeda, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (16/10), di ruang sidang pleno MK.
Uji UU BHP ini diajukan oleh 14 Pemohon, antara lain, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (Yayasan Yarsi), Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, Yayasan Perguruan Tinggi AS-SYAFI’IYAH, Yayasan Trisakti, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, Yayasan Universitas Surabaya, Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK), Yayasan Universitas Profesor Doktor Moestopo, Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI), Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, Yayasan Mardi Yuana, Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK), dan Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTK Satya Wacana). Perkara ini diregistrasi dengan Nomor 126/PUU-VII/2009.
Melalui kuasa hukumnya, Luhut M. P. Pangaribuan, dkk, Pemohon meminta pengujian terhadap 76 pasal dalam UU BHP, yakni Pasal 1 butir (5) sepanjang anak kalimat " ……. dan diakui sebagai badan hukum pendidikan", Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 67 ayat (2), (4) dan Pasal 62 ayat (1) sepanjang menyangkut pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif, serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dari UU BHP beserta Penjelasan pasal-pasal tersebut. Menurut Luhut, Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2). "Hak hidup Pemohon sebagai yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal terlanggar dengan berlakunya pasal a quo," jelas Luhut.
Luhut menjelaskan bahwa sebelumnya Pemohon pernah mengajukan pengujian terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) ke MK. Pada saat itu, MK menolak karena UU BHP masih berbentuk RUU BHP. Akan tetapi, dalam pertimbangan hukum, MK mengemukakan agar Pemerintah dan DPR menyesuaikan RUU BHP terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi. "Kenyataannya sekarang setelah disahkan menjadi UU, UU BHP justru bertentangan dengan UUD 1945 dan ingin melenyapkan eksistensi para Pemohon," ungkap Luhut.
Selain itu, dengan berlakunya pasal a quo, ada pemaksaan terhadap yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lain sejenis termasuk para Pemohon yang diharuskan untuk menyesuaikan tata kelola sebagaimana diatur dalam UU BHP paling lambat enam tahun setelah diundangkan. "Hal ini mengakibatkan kerugian besar bagi para Pemohon, karena para Pemohon yang kegiatannya khusus untuk menyelenggarakan pendidikan diharuskan menyesuaikan diri dengan mengubah akta pendiriannya," kata Luhut.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Harjono dengan dianggotai Muhammad Alim, Arsyad Sanusi, dan Achamad Sodiki, menyarankan agar Pemohon membedakan kedudukan hukum masing-masing. "Para Pemohon ada yang berbentuk yayasan, namun ada juga yang berbentuk asosiasi dan komisi. Masing-masing mempunyai legal standing (kedudukan hukum red.) yang berbeda. Pemohon harus memperhatikan perbedaan legal standing ini karena akan berpengaruh pada hak konstitusional dalam UUD 1945," saran Harjono.
Sementara itu, Muhammad Alim meminta agar para Pemohon berkoordinasi dengan tiga Pemohon perkara pengujian UU BHP sebelumnya. "Pemohon dapat mengajukan Saksi, Ahli, dan alat bukti yang belum diajukan oleh tiga Pemohon sebelumnya agar saling melengkapi," jelas Alim.
Majelis Hakim Panel memberikan waktu 14 hari bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. (Lulu A.)