Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang dimohonkan oleh Ramsees Ohee dan Yonas Alfons Nusi, Kamis (15/10), di ruang sidang panel gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 116/PUU-VII/2009 ini mengagendakan perbaikan permohonan.
Melalui kuasa hukumnya, Amiryun Aziz, Pemohon memperbaiki permohonannya sesuai dengan saran Majelis Hakim Panel pada sidang terdahulu. "Sesuai saran Majelis Hakim Panel, kami tidak lagi meminta pengujian terhadap Pasal 6 ayat (4) UU Otsus Papua. Akan tetapi, kami tetap meminta pengujian terhadap Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua," ujar Amiryun.
Amiryun menjelaskan bahwa Pemohon mengubah petitum dalam permohonannya. Sebelum perbaikan, Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Maka dalam perbaikan permohonan, kami ubah agar MK menyatakan Pasal 6 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hanya sepanjang frasa ‘… berdasarkan peraturan perundang-undangan’," jelas Amiryun.
Menanggapi penjelasan kuasa hukum Pemohon, Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan bahwa petitum dalam perbaikan permohonan Pemohon dapat menimbulkan masalah hukum baru. Menurut Harjono, jika permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pasal 6 ayat (2) akan berbunyi "DPRD terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat". "Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan masalah hukum baru karena tidak ada dasar hukum untuk pengangkatan anggota DPRD," tegas Harjono.
Amiryun pun mengungkapkan bahwa Pemohon hanya ingin meminta agar MK mengubah Pasal 6 ayat (2) sepanjang frasa ‘… berdasarkan peraturan perundang-undangan’. "Kami hanya ingin MK mengubah kata ‘perundang-undangan’ dalam Pasal 6 ayat (2) menjadi peraturan daerah khusus," jelas Amiryun.
Pernyataan kuasa hukum Pemohon dianggap Majelis Hakim Panel tidak masuk akal. "Bagaimana bisa disusun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) kalau 11 kuota dalam DPRD saja belum terisi? Pemohon harus menggunakan logika yang benar, mana lebih dulu telur atau ayam?" sergah Harjono.
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Panel Akil Mochtar menyatakan seharusnya Pemohon cukup meminta agar pasal a quo dinyatakan konstitusional bersyarat. "Seharusnya Pemohon tidak perlu meminta pasal a quo dibatalkan, karena bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Cukup meminta penafsiran agar kata ‘perundang-undangan’ ditafsirkan menjadi ‘peraturan daerah khusus’," jelas Akil.
Pemohon menyatakan bahwa adanya frasa "peraturan perundang-undangan" dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tersebut sangat tidak jelas, bias, multitafsir, dan rawan konflik. Hal tersebut dikarenakan tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur pengangkatan anggota DPRP. (Lulu A.)