Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Senin (15/10), di ruang sidang MK. Uji materi ini diajukan oleh Tedjo Bawono karena Pemerintah Kota Surabaya menolak membayar kewajibannya dalam pemakaian listrik mulai bulan Desember sampai bulan Januari 2008 serta tunggakan biaya pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikuatkan melalui surat Walikota Nomor 180/2247/436.1.2/2008 yang dianggap sangat merugikannya.
"Dasar (bagi Pemkot Surabaya) untuk bersembunyi dari kewajiban pembayaran tersebut adalah Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara yang duijikan ini," tutur Tedjo dalam perkara Nomor 25/PUU-VII/2009 ini yang mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah dan Ahli dari Pemohon.
Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara menyatakan:
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dalam hal ini, Pemerintah melalui Indra Surya menyatakan bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat). Selain itu, kejelasan permohonan tidak diungkapkan secara tegas. "Pada dasarnya negara, melalui pemerintah, melalui landasan undang-undang tersebut menjaga agar selalu terlaksananya kesejahteraan rakyat. Sekiranya harus ada penelitian terhadap kepemilikan atas aset yang dipersengketakan tersebut," kata Indra.
Ahli dari Pemohon, Dr. Marbun, menjelaskan bahwa subjek hukum yang terdiri dari persoon (individu) dan rechtpersoon (badan hukum) memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun demikian, dalam hukum administrasi negara memiliki hak tertentu yang diberikan untuk mewujudkan tujuan negara tertentu. "Hak istimewa tersebut tidak dimiliki oleh persoon. Negara bisa memonopoli dan memaksa dan hal itu tidak dimiliki oleh yang lainnya," ungkap Dr. Marbun selaku Ahli Pemohon kepada majelis sidang panel.
Selain itu menurut Marbun ketika ada keputusan pengadilan yang telah mengikat maka harus dilaksanakan dan tidak boleh berlindung di balik apapun. "Apabila tetap saja berlindung melalui UU Perbendaharaan Negara, maka hal tersebut merugikan warga dan masyarakat," tambahnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Akil Mochtar menilai bahwa pasal 50 UU Perbendaharaan Negara apabila dihubungkan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 harus terdapat jaminan kedudukan di hadapan hukum tanpa terkecuali. Organ pemerintah menurut Akil Mochtar adalah sama apabila dilihat dari hukum prifat (perdata). "Jadi apabila negara juga punya utang, juga harus dibayar. Apakah subjek hukum berupa negara mutlak masih bisa dilindungi oleh Undang-Undang tersebut?" tanya Akil Mochtar kepada Pemerintah.
Selain itu pertanyaan kepada Pemerintah juga dilontarkan oleh Hakim Konstitusi Harjono mengenai aturan pembayaran ataupun penyitaan dalam masalah sengketa. "Apakah ada PP-nya (Peraturan Pemerintah) karena hal itu akan berpengaruh terhadap kasus yang dialami oleh Pemohon," tanyanya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, pihak Pemerintah menjelaskan bahwa belum ada PP yang mengatur masalah tersebut, akan tetapi pemerintah memiliki anggaran untuk melaksanakan putusan pengadilan yang besarannya diusulkan kepada DPR terlebih dahulu.
Pemerintah Daerah, menurut Indra, harus melakukan pembayarannya karena ada penganggarannya. "Itu harus wajib dilaksanakan dan tidak harus meminta ijin pusat. Ini merupakan permasalahan Pemerintah di daerah saja. Kami akan mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya agar melaksanakan pembayaran tersebut," ujar Indra. (RNB Aji)