Dualisme Pemerintahan di Kabupaten Maluku Tengah
Kamis, 15 Oktober 2009
| 16:10 WIB
Dari kiri ke kanan, Hakim Konstitusi Harjono, Maruarar Siahaan, dan Achmad Sodiki, memimpin sidang uji UU Seram, Selasa (13/10), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Gani)
Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku (UU Seram), Selasa (13/10), di Ruang Sidang Panel, Gedung MK.
Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 123/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Abdullah Tuasikal selaku Bupati Maluku Tengah, Azis Matulete selaku Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Muhammad Umarella dan RC Nikijuluw selaku Wakil Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Herskop Adam Maatoke, Simon Wasia, Chrestian Waeleruny, Fredrik Kasale, Halidjah Polanunu, Abdul Muthalib Ely, Ali Ely beserta Abdullah Laitupa dengan kuasa hukum Chaidir Arief, dkk. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (4) serta Penjelasan Pasal 7 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 25A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, dalam kenyataannya UU Seram menimbulkan ketidakpastian hukum terutama menyangkut masalah kewilayahan, kependudukan, anggaran, dan administrasi, serta mengganggu perasaan keadilan yang ada dan hidup di dalam masyarakat Kabupaten Maluku Tengah, Kecamatan Teluk Elpaputih, Kecamatan Leihitu dan Kecamatan Leihitu Barat.
Chaidir mengungkapkan ketidakpastian hukum pada akhirnya menimbulkan masalah-masalah dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya saja di Kecamatan Teluk Elpaputih, Kabupaten Maluku Tengah. Pada kecamatan tersebut, terdapat dualisme pemerintahan dengan adanya dua kantor kecamatan, yakni Kecamatan Teluk Elpaputih dan Kecamatan Elpaputih. Chaidir menambahkan dualisme ini juga terjadi pada dinas pendidikan hingga pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), padahal seharusnya administrasi pemerintahan dilakukan di Teluk Elpaputih, bukan di Kecamatan Elpaputih. "Adanya kantor kecamatan Elpaputih, dinas pendidikan, dan Puskesmas Elpaputih yang dibentuk dan didirikan oleh Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat tersebut merupakan intervensi dari Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat terhadap kabupaten Maluku Tengah," jelas Chaidir.
Dualisme pemerintahan ini, lanjut Cahidir, menimbulkan ketidaktertiban administrasi dan pencatatan kependudukan. Hal ini dikarenakan baik Kecamatan Elpaputih maupun Kecamatan Teluk Elpaputih sama-sama menerbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memungkinkan satu orang penduduk memiliki dua KTP.
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat tidak memberikan pelayanan publik kepada masyarakat yang berada di sebagian Negeri Larike dan Negeri Wakasihu (kecamatan Leihitu Barat), Negeri Ureng, dan Negeri Asilulu (Kecamatan Leihitu), tetapi penduduk yang berada di wilayah-wilayah tersebut dijadikan dasar penghitungan oleh Pemerintah Seram Bagian Barat untuk mendapatkan DAU (dana alokasi umum) dari pemerintah pusat. "Akibat perbuatan tersebut, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah kehilangan anggaran sebanyak Rp. 63,1 miliar pada tahun anggaran 2009," jelas Chaidir. Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Harjono mempertanyakan kedudukan hukum para Pemohon yang dianggap campur aduk. "Kedudukan hukum Pemohon di sini ada yang mewakili Pemerintahan Daerah seperti Pemohon 1 dan Pemohon 2, tetapi ada juga yang perseorangan seperti Pemohon 3. Jadi, tolong diperjelas hak konstitusional yang terlanggar dialami oleh siapa, pemerintah daerah atau perseorangan?" tanya Harjono.
Sementara Hakim Konstitusi Achmad Sodiki meminta agar Pemohon memberikan bukti berita acara mengenai batas wilayah. "Bukankah mengenai batas wilayah selalu ada berita acara yang merupakan kesepakatan bersama dari seluruh bagian pemerintahan daerah baik gubernur sampai camat? Harusnya Pemohon menyertakan hal tersebut," saran Sodiki.
Ketua Majelis Hakim Panel Maruarar Siahaan menyarankan agar Pemohon meneliti kembali kedudukan hukum mereka. "Pemohon harus teliti mengaitkan norma materiil yang diuji dengan norma UUD 1945 sebagai alat uji karena hal itu belum terlihat dalam pemohonan Pemohon," tegas Maruarar.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk melakukan perbaikan. (Lulu A.)