MK Nyatakan Permohonan Andi Jamaro Cs Tidak Dapat Diterima
Minggu, 11 Oktober 2009
| 15:06 WIB
Pemohon uji materi Pasal 205 ayat (1) UU Pemilu sedang memaparkan permohonannya dalam sidang perbaikan permohonan, Senin (7/9) lalu. (Humas MK/Yogi Dj)
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan Pengujian Pasal 205 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Permohonan perkara Nomor 107/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh DR. H. Andi Jamaro Dulung, M.Si, Prof. Dr. Hamka Haq, MA, dan Edward Tanari. Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menilai dalil para Pemohon mengenai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang dianggap sebagai hak konstitusional mereka adalah tidak tepat, karena Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali", bukanlah ketentuan yang secara langsung memberikan hak konstitusional warga negara sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, melainkan ketentuan mengenai keharusan dilaksanakannya Pemilu secara periodik setiap lima tahun sekali berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Di samping itu, Pasal 205 ayat (1) UU 10/2008 yang berbunyi, "Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan", tidak ada kaitannya dengan hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon. Hal demikian disebabkan karena Pasal 205 ayat (1) UU 10/2008 hanyalah mengatur mengenai mekanisme penentuan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan sebagai konsekuensi diterapkannya prinsip "parliamentary threshold" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yang berbunyi, "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR".
Dalam konklusinya, Mahkamah berkesimpulan Para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok Permohonan tidak relevan untuk dipertimbangkan dan dinilai menurut hukum. Karena itu, amar Putusan MK menyatakan, "permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Noh. Mahfud MD.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan tidak diikutsertakannya suara rakyat bagi parpol-parpol yang tidak mencapai PT telah melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Salah satu wujud dari prinsip kedaulatan rakyat adalah pemilu yang dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dalam pemilu tersebut, rakyat yang telah memenuhi syarat untuk memilih (eligible voter) memberikan suaranya sesuai dengan prinsip one person one vote and one value (OPOVOV). Suara yang telah diberikan tersebut harus dihitung sesuai dengan prinsip setiap suara harus dihitung (every vote is counted). (Yazid)