Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), Kamis (8/10), di ruang sidang pleno MK.
Permohonan uji materi Pasal 5 huruf k UU Pilpres dalam perkara Nomor 104/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh H. M. Djamal Doa, Tgk. H. Abdul Hamid dan Lukman Syamra karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan terkait persyaratan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan surat pemberitahuan tahunan pajak (SPTP) Capres dan Cawapres.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 huruf k UU 42/2008 yang mewajibkan Capres dan Cawapres memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan SPT Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah pilihan kebijakan (legalpolicy) yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang untuk melaksanakan kehendak konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pilihan kebijakan tersebut sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Tuntutan administrasi negara modern harus sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat modern agar diperoleh Capres dan Cawapres yang betul-betul taat hukum, termasuk taat membayar pajak. Kebijakan sebagaimana dimaksud akan mencederai prinsip-prinsip konstitusi apabila dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur), melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir). "Sebaliknya pilihan kebijakan tersebut harus didukung jika pilihan kebijakan tersebut justru memperkokoh atau memperkuat negara Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum," ujar Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.
Selanjutnya, dalil para Pemohon yang menyatakan pengaturan dalam pasal a quo telah mendiskriminasi sesama warga negara karena telah memperlakukan secara berbeda tidak beralasan hukum. "Pemohon keliru dalam memahami rumusan pasal a quo, apabila hanya melihat dari undang-undang a quo an sich, dengan menafikan norma lain dalam peraturan perpajakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda," kata Arsyad.
Selain itu, menurut Mahkamah kedudukan hukum para Pemohon tidak kuat karena tidak terdapat hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang telah dirugikan atas diberlakukannya UU Pilpres, baik kerugian secara aktual maupun kerugian potensial.
"Dengan demikian menurut hukum telah jelas, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan pokok permohonan para Pemohon tidak relevan menurut hukum untuk dinilai," ungkap Mahfud. (RNB Aji)