UU Minerba Tidak Menjamin Kepastian Berusaha
Jumat, 02 Oktober 2009
| 09:04 WIB
Kuasa Hukum Pemohon, Abdullah (kiri) dan Januardi S. Haribowo (kanan) sedang memaparkan permohonan uji materi UU Minerba, Kamis (1/10), di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi. (Humas MK/Wiwik BW)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap Pasal 172 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Kamis (1/10), di ruang sidang pleno MK. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini diketuai Maria Farida Indrati, dua orang anggota Muhammad Alim dan Maruarar Siahaan. Pemohon perkara dengan Nomor 121/PUU-VII/2009 ini adalah Nunik Elizabeth, Yusuf Merukh, PT Pukuafu Indah, PT Bintang Purna Manggala, PT Lebong Tandai, PT Merukh Ama Coal, dan PT Merukh Lores Coal. Pemohon memberikan kuasanya kepada Hamdan Zoelva dkk yang kesemuanya advokat pada kantor Hukum Zoelva & Januardi.
Pemohon sebagai perseorangan dan badan hukum, sebagaimana dalam permohonannya
, mendalilkan bahwa Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 172 menyebutkan: "Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini".
Pemohon merasa dirugikan karena telah dengan itikad baik mengajukan permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK dan PKP2B) sesuai peraturan yang berlaku, akan tetapi belum selesai. Tidak selesainya itu karena belum dikeluarkannya persetujuan pencadangan wilayah serta persetujuan prinsip atau izin penyelidikan pendahuluan dari pejabat yang berwenang karena lamanya prosedur birokrasi walaupun persyaratan hukum dan administrasi telah terpenuhi. Dengan keberadaan Pasal 172 UU tersebut segala upaya yang telah dilakukan Pemohon diabaikan, dicampakkan, serta tidak dihormati dan dianggap tidak ada. "Keberadaan ketentuan tersebut mengakibatkan Pemohon yang seharusnya mendapatkan hak menjadi tidak jelas dan bahkan hilang, karena Pemohon harus mengikuti proses baru yaitu lelang," kata Kuasa Hukum Pemohon Januardi S. Haribowo.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 karena ketentuan tersebut telah menabrak prinsip-prinsip rule of law yaitu prinsip keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum serta prinsip kemanfaatan hukum. Pemohon juga mendalilkan Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945 karena materi muatan Pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas yang terkandung dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, Pasal 172 UU Minerba bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon untuk berusaha dalam bidang pertambangan. Hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh hak atas wilayah pertambangan menjadi tidak jelas, bahkan hilang karena Pemohon harus menempuh proses baru yaitu proses lelang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 172 UU Minerba. Melalui kuasanya, Pemohon mengatakan pengajuan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK dan PKP2B) sebagaimana dalam Pasal 172 waktunya dibatasi satu tahun. "Waktu satu tahun tidak memungkinkan bagi Pemohon untuk bisa memenuhi KK dan PKP2B karena pada faktanya proses kelengkapan KK dan PKP2B tidak mungkin keluar dalam waktu satu tahun," lanjut Januardi.
Menanggapi permohonan, Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati mengatakan bahwa Pasal 172 adalah ketentuan peralihan dari suatu kondisi ke kondisi yang baru. "Ketentuan Peralihan dalam peraturan perundang-undangan adalah sesuatu yang bersifat transito, yakni mengalihkan dari suatu kondisi yang sudah ada kepada kondisi yang baru," tegas Maria.
Sedangkan Hakim Konstitusi Maruarar menanyakan argumentasi yang masuk akal mengenai jangka waktu satu tahun yang dikaitkan dengan masalah konstitusionalitas. "Kalau tidak satu tahun, berapa tahun yang dianggap konstitusional?" tanya Maruarar.
Lebih lanjut Maruarar mengatakan, mungkin yang terjadi adalah masalah perilaku birokrasi. Setiap ada perubahan, tentu ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. "Yang menjadi persoalan, yang dirugikan itu menyangkut hak konstitusional atau hak ekonomi?" pungkas Maruarar.
Sedangkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengkritisi naskah permohonan yang kurang lengkap dari segi penulisan. Alim juga menyarankan, tidak keluarnya KK dan PKP2B sejak tahun 2006 sebetulnya bisa masuk dalam wilayah tata usaha negara sehingga bisa diajukan ke PTUN.
Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati meyarankan agar Pemohon lebih memperjelas kerugian konstitusional yang diderita Pemohon atas diberlakukannya Pasal 172 UU Minerba ini. Maria juga menyarankan kemungkinan adanya pasal-pasal terkait yang merugikan hak konstitusional Pemohon. Maria memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. (Nur R./MH)