KPU, melalui penetapannya, telah mengalihkan hak atas perolehan kursi DPR dari Pemohon kepada partai politik lain. Tindakan tersebut telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon sebagai calon anggota DPR yang berhak memperolah kursi berdasarkan bilangan pembagi pemilih baru.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Badrus Zaman selaku kuasa hukum Deddy Djamaluddin dalam persidangan uji materi Pasal 206 UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) di ruang sidang pleno MK, Kamis (1/10).
Badrus menjelaskan bahwa KPU mendasarkan tindakannya tersebut pada Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang menentukan bahwa seorang peserta pemilu dari partai politik dapat menjadi anggota DPR jika partai politiknya, sebagai peserta pemilu anggota DPR, memiliki sisa suara terbanyak di daerah pemilihan yang bersangkutan, bila dibandingkan dengan partai politik lainnya.
Tindakan KPU tersebut, oleh Badrus, dianggap tidak sesuai dengan sistem proporsional karena telah menghilangkan suara dari partai politik yang telah memperoleh bilangan pembagi pemilih dan semata-mata menggunakan sistem suara terbanyak sebagaimana yang diterapkan dalam sistem distrik atau single-member district plurality. "Akibatnya perolehan kursi tidak memenuhi prinsip keterwakilan yang dikehendaki oleh UU No. 10 Tahun 2008," paparnya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon menginginkan supaya permohonannnya dikabulkan untuk seluruhnya dan MK menyatakan Pasal 206 UU Pileg bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Mahkamah mempertanyakan apakah yang diujikan ini adalah pengujian norma undang-undang atau penafsirannya yang dianggap salah. "Pengujian norma apakah bertentangan dengan UUD atau tidak, harus dipahami terlebih dahulu oleh Pemohon sehingga tidak campur aduk. Pertimbangan kerugian konstitusional dan inkostitusionalnya norma dalam undang-undang harus dijabarkan dalam dalil-dalil yang diutarakan kepada Mahkamah sehingga jelas," nasihat Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar kepada Pemohon.
Selanjutnya menurut Hakim Arsyad Sanusi, ketidakjelasan tafsir yang diajukan Pemohon sudah benarkah terdapat pada norma Pasal 206 UU Pileg atau tidak. "Kalau ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan KPU 15/2008 sebagai akibat dari penafsiran Pasal 206 UU Pileg seperti yang Pemohon dalilkan, maka wilayahnya bukan di MK melainkan di Mahkamah Agung (MA) karena yang bermasalah adalah Peraturan KPU," kata Arsyad.
Terhadap ketidakjelasan permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Muhammad Alim memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. (RNB Aji)