Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) Rabu (30/9), di ruang sidang pleno MK. Uji materi Perkara Nomor 117/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh anggota DPD terpilih, antara lain Wahidin Ismail (Papua Barat), Marhany Victor Poly (Sulawesi Utara), Sri Kadarwati, K.H. Sofyan Yahya (Jawa Barat), dan Intsiawati Ayus (Riau).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai susunan keanggotaan MPR sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 maupun kewenangannya dalam Pasal 3 ayat (8) UUD 1945 menunjukkan bahwa anggota MPR baik yang berasal dari DPD maupun DPR merupakan satu kesatuan sebagai sesama anggota MPR. Maka tidak dibedakan lagi asal usul anggota MPR tersebut.
"Sebagai konsekuensinya, pada hakikatnya kedudukan hak dan kewajiban anggota MPR adalah equal atau sederajat. Hal tersebut termasuk haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pimpinan MPR," ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang frasa ‘yang berasal dari anggota DPR’ bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 beralasan hukum karena telah mendiskriminasi sesama anggota MPR, yakni menutup peluang anggota DPD untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.
Namun demikian, menurut Mahkamah bukan hanya Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang menyangkut frasa a quo yang bertentangan dengan UUD 1945. Frasa ‘yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD’ juga diskriminatif karena mencerminkan pola pikir bikameralisme dan pendekatan sektoral institusional yang tidak sesuai dengan norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.
"Pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU 27/2009 merupakan penjabaran dan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (1). Sehingga, apabila Pasal 14 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional, maka mutatis mutandis Pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) dengan sendirinya juga inkonstitusional karena norma yang terkandung dalam pasal tersebut telah mendistorsi pengertian UUD 1945 mengenai lembaga MPR," lanjuta Akil Mochtar.
Mahkamah sebagai negative legislator sedapat mungkin menghindari membuat rumusan norma baru kecuali dalam kondisi ketatanegaraan tertentu yang bersifat mendesak. Namun MK dalam kondisi yang biasa hanya dapat meniadakan frasa dan/atau kata dari suatu norma dalam Undang-Undang dan memberikan tafsir yang tepat agar norma undang-undang tetap konstitusional.
"Dengan demikian agar norma hukum yang terkandung dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 konstitusional, beberapa frasa dan/atau kata dalam Pasal tersebut ditiadakan dan diikuti dengan memberikan tafsir yang tepat mengenai kata ‘ditetapkan’ dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009," ungkap Akil Mochtar.
Rumusan Pasal 14 ayat (1) berdasarkan putusan MK menjadi ‘Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (orang) wakil ketua yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.’ Akan tetapi frasa ‘ditetapkan’ harus ditafsirkan mengandung makna di dalamnya ‘dipilih.’
Selain itu, karena Undang-Undang adalah satu kesatuan sistem yang apabila sebagian pasalnya diuji pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal lain yang mungkin tidak dimohonkan pengujiannya. Meskipun Pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU 27/2009 tidak dimohonkan uji materi, namun secara konsekuensi logis tidak dapat dihindarkan untuk ikut ditiadakannya frasa dan penafsiran Mahkamah atas beberapa kata dan/atau frasa dalam rumusan normanya.
Dalam konklusinya, Mahkamah menilai bahwa dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sepanjang menyangkut frasa ‘yang berasal dari anggota DPR’ terbukti beralasan secara hukum. Sedangkan dalil tentang tafsir kata ‘ditetapkan’ yang hanya diperuntukkan bagi pemilihan ketua MPR menimbulkan dualisme dalam prosedur pemilihan pimpinan MPR tidak beralasan hukum.
"Frasa ‘yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD’ yang tercantum dalam rumusan Pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Persidangan Moh. Mahfud MD.
Kemudian, kata ‘ditetapkan’ dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 harus dimaknai ‘dipilih’ sehingga pimpinan MPR, baik pemilihan ketua MPR maupun pemilihan wakil ketua MPR, harus dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam sidang paripurna MPR.
"Dengan demikian MK menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan," tegas Mahfud dalam bacaan putusan tersebut. (RNB Aji)