Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan perkara Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dimohonkan oleh Sri Soedarjo, Senin (14/9), di ruang sidang pleno MK.
Mengatasnamakan Komite Pemerintahan Rakyat Independen, Sri Soedarjo mengajukan uji konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres.
Majelis Hakim berpendapat bahwa MK tidak dapat menguji suatu pasal dan/atau keseluruhan undang-undang terhadap UUD 1945 yang memiliki substansi pengujian yang sama berdasarkan Peraturan MK No. 06/PMK/2005. Materi yang diujikan dalam permohonan Sri Soedarjo telah pernah diujikan dalam pengujian-pengujian sebelumnya di MK. Belum lagi pengujian terhadap Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) tidak memiliki alasan hukum yang jelas. Oleh karena itu dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Moh. Mahfud MD, dinyatakan bahwa terhadap permohonan Pasal 10 a quo, MK menyatakan tidak dapat menerimanya dan terhadap permohonan yang selebihnya dinyatakan ditolak.
Selain itu, MK juga menganggap permohonan tersebut berkaitan erat dengan putusan-putusan MK terdahulu, yaitu putusan Nomor 054/PUU-II/2004, Putusan Nomor 057/PUU-II/2004, Putusan Nomor 056/PUU-VI/2008, dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU/2009.
Berdasarkan putusan-putusan a quo, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa maksud asli (original intent) para penyusun perubahan UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui Partai Politik. Mahkamah juga berpendapat pembatasan yang diberikan oleh UU Pilpres tidaklah diskriminatif dan bertentangan dengan demokrasi. Kemudian Mahkamah menegaskan bahwa tidak terdapat korelasi yang jelas dari keberadaan calon independen dan demokrasi, dikarenakan pencalonan melalui Partai Politik adalah juga proses demokrasi.
Dalam permohonannya, Sri Soedarjo berpendapat bahwa pasal-pasal a quo telah menghambat haknya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dari jalur independen. Sri Soedarjo menyatakan bahwa partai politik adalah sarana politik rakyat yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga rakyat sendiri sebagai yang berkuasa berwenang untuk mengajukan diri sebagai calon Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Argumen lainnya yang diajukan Sri Soedarjo adalah bahwa hasil Pemilu legislatif tidak dapat dijadikan landasan untuk mengikuti pencalonan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sri Soedarjo bahkan berpendapat bahwa mekanisme tersebut telah mengarahkan sistem Indonesia kepada sistem Parlementer.
Sri Soedarjo juga meminta MK untuk mengabulkan permohonan agar setiap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, selain melewati Partai Politik, harus pula melewati Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Sehingga selain harus memenuhi ambang batas 20% jumlah perolehan kursi DPR dan/atau 25% jumlah perolehan suara nasional Pemilu Legislatif, para calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah memperoleh “pengesahan” oleh Komite Rakyat Independen yang dipimpin Sri Soedarjo. (Feri Amsari/Wiwik Budi Wasito)