Mencari Tafsir Kesetaraan antara DPR dan DPD di MK
Rabu, 09 September 2009
| 19:35 WIB
Ahli dari Pemohon, Arbi Sanit (berdiri), sedang memberikan keterangan dalam sidang uji materi UU MPR, DPD, DPR, dan DPD, Rabu (9/9), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Yogi Dj)
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah, dan Ahli, Rabu (9/9), di ruang sidang pleno MK.
Uji materi Perkara Nomor 117/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh anggota DPD terpilih, antara lain Wahidin Ismail (Papua Barat), Marhany Victor Poly (Sulawesi Utara), Sri Kadarwati, K.H. Sofyan Yahya (Jawa Barat), dan Intsiawati Ayus (Riau).
Dalam permohonannya, norma yang diujimaterikan adalah Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi: “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”.
Pemohon mendalilkan adanya ketidaksetaraan antara DPD dan DPR dalam struktur kepemimpinan di MPR. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) mendudukkan anggota MPR yang berasal dari DPD lebih rendah dibandingkan dengan kedudukan anggota MPR yang berasal dari DPR. “Secara tegas pasal tersebut menyatakan bahwa ketua MPR harus berasal dari anggota DPR,” ungkap Kuasa Hukum Pemohon, Todung Mulya Lubis.
Para Pemohon mendalilkan bahwa mereka sebagai warga negara Indonesia yang terpilih menjadi anggota DPD telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh pasal tersebut. Para Pemohon menilai frasa kata “yang berasal dari anggota DPR” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. “Sebagai anggota MPR seharusnya kita (DPD dan DPR, red.) memiliki hak yang sama dalam memilih dan dipilih sebagai ketua MPR,” lanjut Todung.
Dalam petitumnya, Pemohon menginginkan agar MK mengabulkan permohonannya. “Kemudian menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut frasa ‘yang berasal dari DPR’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” tegas Todung. Selain itu, dalam perbaikan permohonannya, Pemohon juga meminta konstitusional bersyarat menyangkut kata “ditetapkan” dalam Pasal 14 ayat (1) UU Susduk sehingga ketentuan itu adalah konstitusional sepanjang diartikan sebagai berikut:
- Ketua MPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR;
- Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, Ketua MPR dipilih oleh anggota MPR dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.
“Ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Susduk yang dianggap oleh Pemohon sangat diskriminatif tidaklah benar seperti itu. Pemerintah tidak sepakat dengan hal tersebut karena UU a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945,” kata Agung Mulyana mewakili pihak pemerintah menanggapi uji materi tersebut.
Mulyana melanjutkan bahwa UU a quo justru memberi kepastian hukum karena anggota DPD mendapatkan posisi dua orang untuk menduduki wakil ketua MPR. “Apabila konstruksi Pasal 14 ayat (1) dibatalkan oleh MK maka komposisi untuk memiliki ketua MPR tidak terlaksana. Jadi hanya pemilihan wakil ketua MPR saja yang bisa dilaksanakan dan keterwakilan dari DPD hanya diwakili ketua MPR. Maka dari itu UU Susduk selaras dengan UUD 1945,” lanjutnya.
Sementara itu, dari pihak DPR menjelaskan bahwa UUD menyebutkan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. MPR tidak mengenal trikameral, bikameral, ataupun unikameral. “Jadi sudah terdapat kesetaraan, equality before the law,” kata Patrialis Akbar, politisi Partai Amanat Nasional.
Menambah keterangan Patrialis, Mufid Busyairi selaku Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Susduk menyatakan bahwa saat pembahasan kondisinya cukup alot. “Memang masih ada pikiran sektoral. DPR lebih banyak anggotanya daripada DPD. Jadi apabila tidak ditentukan dengan kompromi bisa saja semua diambil oleh anggota DPR karena menang dalam voting. Akan tetapi kita tetap mengikutkan DPD dalam komposisi pimpinan MPR,” papar Mufid.
Turut memberi keterangan, Ahli Pemohon Arbi Sanit menerangkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, akan tetapi hal itu hanya terjadi pada tataran elite saja. Setiap kali UU Susduk dibuat ternyata masih belum bisa mendukung atau menopang demokrasi kerakyatan.
Menyambung penjelasan Arbi Sanit, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjahmada, Fajrul Falaakh, menerangkan bahwa perekrutan anggota DPD dan DPR itu berbeda dan jumlahnya juga berbeda. Terlepas dari perbedaan tata cara perekrutan, watak keterwakilan serta kewenangan konstitusionalnya, pembentukan UU Susduk tetap harus merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan adanya kesetaraan antara DPD dan DPR dalam MPR. “Apabila seorang ketua MPR harus dari DPR justru mencederai kesetaraan anggota MPR yang diamanatkan konstitusi,” jelasnya. (RNB Aji)