Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Rabu (9/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 114/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Deden Rukman Rumaji, Eni Rif’ati, dan Iyong Yatlan Hidayat.
Kuasa hukum Pemohon, Wasis Susetyo, mengajukan tiga perbaikan pada permohonan Pemohon, yakni terkait kedudukan hukum (legal standing), kerugian konstitusional, dan tambahan pada pokok perkara. Menanggapi saran Majelis Hakim Konstitusi pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyimpulkan bahwa legal standing Pemohon tidak akan diubah menjadi nama partai politik tempat Pemohon bernaung yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Pemohon beralasan bahwa yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya secara langsung adalah Pemohon, bukan partai. "Kami sudah berunding dengan Bapak Patrialis Akbar dan memperoleh keputusan tidak akan melibatkan partai dalam legal standing. Hal ini dikarenakan bukan partai yang mengalami kerugian, tapi Pemohon sendiri secara langsung," jelas Wasis.
Mengenai substansi permohonan, Pemohon mengubah petitumnya agar MK menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU Pemilu dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Pemohon, lanjut Wasis, mohon agar MK menyatakan Pasal 72 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU Pemilu harus dibaca bahwa hal tersebut tidak menghalangi pengajuan permohonan setelah selesainya tenggat waktu 3 x 24 jam sepanjang permohonan yang diajukan benar-benar signifikan mempengaruhi hasil pemilu. "Kami meminta conditionally constitutional karena pada sidang sengketa hasil pemilu kemarin, klien kami sudah memenuhi tenggat waktu 3 x 24 jam. Akan tetapi, karena kesalahan prosedural dari kuasa hukum partai, klien kami tidak bisa menyelesaikan sengketa hasil pemilu yang dihadapinya," jelas Wasis.
Menanggapi hal ini, Ketua Panel Hakim M. Arsyad Sanusi mengungkapkan bahwa permohonan Pemohon salah sasaran. Menurut Arsyad, kerugian yang dialami Pemohon diakibatkan oleh kesalahan prosedural yang dilakukan oleh kuasa hukum partai Pemohon, tapi menyalahkan undang-undang atas kerugian tersebut. "Pemohon harus ingat bahwa UU MK juga berkaitan dengan UU Pemilu dan UU Pilpres yang berskala nasional," tegas Arsyad.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menganggap bahwa sikap Pemohon yang menyalahkan undang-undang karena kesalahan prosedural yang dilakukan kuasa hukum partai Pemohon adalah suatu hal yang ironis. Mukthie mengungkapkan bahwa Pemohon telah mencampuradukkan sengketa hasil Pemilu dengan pengujian undang-undang. "Keduanya memang kewenangan MK, tetapi keduanya punya ranah yang berbeda. Jangan dicampuradukkan," kata Mukthie.
Dalam pengujian undang-undang, lanjut Mukthie, para Pemohon cenderung mengajukan gugatan akibat kesalahan sendiri ataupun karena kekalahan dalam suatu kasus. "Padahal yang salah para Pemohon itu, tapi menimpakannya pada undang-undang," jelas Mukthie.
Hakim Konstitusi Achmad Sodiki pun memberikan penegasan bahwa dalam berperkara di MK, seseorang tidak boleh menanggung kesalahan orang lain. "Kalau kuasa hukum partai anda yang salah, maka kuasa hukum itu yang seharusnya digugat. Jangan salahkan undang-undang," jelas Sodiki kepada Pemohon.
Pemohon melalui kuasa hukumnya membenarkan pernyataan Majelis Hakim Konstitusi. Oleh karena itu, jika MK tidak dapat menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU Pemilu conditionally constitutional, maka Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal a quo tidak berlaku khusus bagi Pemohon sehingga permohonan ini masuk dalam ranah pengujian pengaduan konstitusi (constitutional complaint). "Kami mohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU pemilu, constitutional complaint. Kami hanya ingin mencari keadilan dari MK," jelas Wasis.
Menanggapi permohonan Pemohon, Arsyad Sanusi mengingatkan bahwa MK belum mempunyai kewenangan constitutional complaint seperti yang dimohonkan Pemohon. "Kalau Pemohon memohonkan seperti itu, Pemohon minta dulu kepada MPR agar constitutional complaint ditambahkan dalam kewenangan MK (melalui perubahan konstitusi)," kata Arsyad.
Dalam persidangan ini, Majelis Hakim Konstitusi mensahkan 15 bukti yang diajukan Pemohon. Sidang berikutnya merupakan sidang pembacaan putusan. (Lulu A.)