Surat Buat Wakil Rakyat
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman-teman dekat
Apalagi sanak famili
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke
Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu setuju
(Iwan Fals)
Kritik lewat lirik lagu Iwan Fals di atas tampaknya masih ada yang kurang karena persoalan wakil rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak hanya terkait nepotisme, sikap diam, tidur saat sidang, ataupun “koor nada setuju”, namun juga dihadapkan pada persoalan minimnya tingkat kehadiran pada sidang-sidang DPR khususnya yang membahas pengesahan suatu rancangan undang-undang.
Buruknya tingkat kehadiran fisik para wakil rakyat itulah yang kini sedang dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) lewat uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), dalam Perkara Nomor 27/PUU-VII/2009.
Uji formil UU MA ini diajukan oleh Advokat Asfinawati, Pengajar Hasril Hertanto, Pekerja Swasta Johanes Danang Widoyoko, dan Pegawai Negeri Sipil Zainal Arifin Mochtar dengan didampingi Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung.
Dalam sidang yang juga mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR ini, Selasa (8/9), Kuasa Hukum Pemohon Taufik Basari menjelaskan bahwa alasan utama uji formil UU MA ini terkait proses pembentukannya yang dianggap bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945. Menurut Pemohon, pertama, pengambilan keputusan di DPR tidak memenuhi syarat kuorum. Kedua, pengambilan keputusan di DPR tidak memenuhi syarat pengambilan keputusan. Ketiga, pembahasan UU a quo melanggar prinsip keterbukaan.
Pada persidangan ini, Pemohon membeberkan kronologi pengesahan RUU MA. Pada Kamis, 18 Desember 2008, sekitar pukul 19.30 WIB, di ruang sidang paripurna Nusantara II DPR RI dimulai sidang paripurna pengesahan RUU MA. Sidang tersebut diawali dengan penyampaian laporan Panitia Kerja RUU MA, pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi, dan pengesahan RUU MA. Sidang dipimpin Ketua DPR periode 2004-2009, Agung Laksono. Selain dihadiri anggota DPR, sidang paripurna tersebut juga dihadiri masyarakat dan wartawan yang melakukan pemantauan dan peliputan proses pengesahan RUU MA tersebut.
Ternyata dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang terlihat atau yang hadir hanya berjumlah 96 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah jumlah anggota DPR keseluruhan, sehingga sebagian kursi anggota DPR terlihat kosong. Beberapa orang pengamat melakukan penghitungan ulang kehadiran anggota DPR di bagian pertengahan sidang atau sekitar pukul 21.00 WIB, dan bagian akhir sidang paripurna. Tercatat, anggota DPR yang hadir secara fisik pada penghitungan pertama berjumlah 90 orang, sedangkan pada penghitungan kedua sebanyak 96 orang.
Bisa dipastikan, lanjut Pemohon, bahwa walaupun anggota DPR melakukan penandatangan kehadiran yang sesuai dengan ketentuan peraturan tata tertib yaitu memenuhi kuorum, namun mereka telah nyata-nyata tidak hadir dalam sidang paripurna tersebut. “Ironis jika pengesahan dilakukan dengan prosedur seperti itu,” kata Taufik di dalam ruang sidang pleno MK itu.
Berdasarkan pembacaan pendapat akhir fraksi-fraksi, ada beberapa fraksi memberikan catatan keberatan (minderheits nota) dan menolak pengesahan RUU MA terutama terkait ketentuan usia Hakim Agung dan biaya perkara. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagaimana disampaikan oleh H. Makmur Hasanuddin, pada intinya menyatakan bahwa PKS memberikan catatan keberatan atas tidak dimasukkannya ketentuan yang menyatakan bahwa biaya proses penyelesaian perkara termasuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak sehingga bisa diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Seharusnya keberatan PKS ini dipertimbangkan dalam paripurna supaya dibahas lebih lanjut karena terkait dengan kewenangan konstitusional BPK,” lanjut Taufik.
Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan, melalui juru bicaranya Gayus Lumbuun, dengan tegas menyatakan keberatan dan tidak bisa menerima usia hakim agung maksimal 70 tahun, seharusnya cukup sampai usia 65 tahun. PDIP juga menyatakan rumusan pasal dalam RUU MA tersebut akan berpengaruh pada RUU Komisi Yudisial dan RUU MK. “Maka seharusnya pembahasannya dilakukan paralel dan tidak tergesa-gesa,” tegas Taufik.
Setelah pembacaan sikap akhir partai selesai dan setelah menanyakan sikap akhir Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, kemudian Agung Laksono, dengan nada bertanya, meminta setuju-tidaknya semua anggota DPR yang hadir pada saat itu terhadap pengesahan RUU MA. Hampir semua anggota DPR yang hadir menyatakan setuju, akan tetapi sebagian lainnya menyatakan tidak setuju. Kemudian Ketua Fraksi PDIP, Cahyo Kumolo, mengajukan interupsi dan memperingatkan pimpinan sidang agar mematuhi tata tertib sidang DPR dan menyatakan PDIP tidak setuju dengan pengesahan RUU MA sehingga harus dilalui mekanisme berikutnya seperti lobi atau voting. Namun Agung Laksono tidak menggubris dan kembali bertanya kepada anggota rapat apakah setuju atau tidak dengan RUU tersebut, dan anggota yang hadir menyatakan setuju dan masih ada pula yang interupsi tidak setuju. “Hal itu pun tidak digubris pimpinan sidang, bahkan (Agung Laksono) langsung mengetukkan palu dan menyatakan RUU MA sah menjadi undang-undang,” terang Taufik.
Menanggapi keterangan Pemohon, Pemerintah dalam keterangan tertulisnya yang dibacakan Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin menyatakan proses pembentukan UU a quo telah memenuhi kriteria pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar. UU a quo dibahas dan dibentuk oleh institusi yang berwenang membentuk UU yaitu DPR bersama Presiden, juga proses pembahasan sampai pengesahan telah memenuhi ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, R-PERPU, RPP, dan R-PERPRES, serta sesuai dengan Keputusan DPR Nomor 8/DPR-RI/I/2005-2006 tentang Tata Tertib DPR RI.
Proses pembentukan tersebut, lanjut Qomaruddin, tidak dilandasi kepentingan sepihak Pemerintah maupun DPR atau kelompok kepentingan tertentu lainnya. “Pembahasan tidak mengindikasikan adanya unsur nepotisme, kolutif, dan koruptif yang dapat mempengaruhi langsung maupun tidak langsung dari mulai pembahasan sampai dengan pengesahan dan pengundangan undang-undang tersebut,” terang Qomaruddin.
Guna memperkuat pernyataannya, Pemerintah juga menyebut putusan Badan Kehormatan DPR Nomor 064/KEP-BK/IV/2009 tanggal 29 April 2009 yang menyatakan Teradu Agung Laksono tidak melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan kode etik DPR ketika mengesahkan RUU MA tersebut, dan menyatakan pengaduan Pengadu I. Z. Fahmi Badoh dari Indonesia Corruption Watch tidak cukup beralasan.
Senada dengan Pemerintah, Kuasa Hukum DPR Nursyahbani Katjasungkana, dalam keterangan tertulis yang dibacanya menyatakan bahwa dalam membentuk UU a quo, DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang telah menjalankan kewenangan konstitusionalnya sesuai dengan Pasal 20 dan Pasal 20A UUD 1945. Bahkan, secara prosedural, berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 juncto UU Nomor 10 Tahun 2004, pembentukan UU a quo telah melalui tahapan persiapan, pembahasan, dan pengesahan RUU menjadi UU. “Benar bahwa pada rapat paripurna 18 Desember (2008) ada satu fraksi yang tidak setuju, tapi DPR berpandangan pengambilan keputusan saat itu dilakukan secara terbuka dengan aklamasi di mana lebih dari separuh yang hadir dan lebih dari separuh unsur fraksi setuju secara lisan, sesuai dengan tatib DPR Pasal 212 ayat (1) juncto Pasal 213 ayat (1),” jelas anggota Komisi III ini. (Wiwik Budi Wasito)