Adakah kerugian konstitusional bagi rakyat, yang diwakili oleh para Pemohon, ketika suatu rancangan undang-undang hanya disahkan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dihadiri kurang dari separuh anggota DPR?
Pertanyaan tersebut mengemuka dalam sidang uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), dalam Perkara Nomor 27/PUU-VII/2009, yang diajukan oleh Advokat Asfinawati, Pengajar Hasril Hertanto, Pekerja Swasta Johanes Danang Widoyoko, dan Pegawai Negeri Sipil Zainal Arifin Mochtar dengan didampingi Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung, Selasa (8/9), di ruang sidang pleno MK.
“Jika (peserta) suatu sidang sudah terpenuhi kuorum dan saat sidang para peserta kemudian pergi, apa saudara menganggap itu tidak sah? Kalo itu dianggap tidak sah, bisa jadi tidak pernah ada undang-undang yang sah,” demikian tanya Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD kepada Pemohon, karena pada praktiknya sering terjadi dalam sidang DPR saat pertama datang anggotanya bisa mencapai 300 orang, hingga kemudian tinggal tersisa 60 orang di akhir persidangan. “Kalau (suatu undang-undang) dibatalkan (hanya karena praktik seperti itu), apa hal itu tidak melanggar asas kemanfaatan? Selain itu, kerugian atau ancaman kerugian konstitusional apa yang konkrit (bagi Pemohon)?” tanya Mahfud lagi.
Menjawab pertanyaan itu, Kuasa Hukum Pemohon Taufik Basari menjelaskan bahwa harus dibedakan antara uji materiil dan uji formil. Permohonan para Pemohon ini ialah uji formil, artinya, menurut Pemohon, setiap warga negara tanpa kecuali punya hak memperoleh undang-undang dari proses yang legal. “Terlepas dari materinya apa, maka (setiap warga negara) berhak mendapat undang-undang yang layak secara prosedural,” terang Taufik.
Para pemohon, sambung Taufik, ialah orang-orang yang selama ini concern di persoalan proses legislasi. “Para Pemohon memiliki kepentingan memperoleh undang-undang yang baik dan benar,” jelasnya.
Menambah jawaban Taufik, Kuasa Hukum Pemohon Anggara mengatakan kalau hanya mendasarkan pada asas kemanfaatan semata, jika dianalogikan dengan kasus pidana, artinya ialah sama saja dengan mengamini proses penangkapan sewenang-wenang tanpa surat, dan suratnya baru muncul belakangan. Keadilan substantif, urai Anggara, harus dicapai melalui keadilan prosedural juga. Bermula dari hal ini sangat perlu dicermati proses kehadiran para anggota DPR yang hanya didasarkan pada tanda tangan semata.
Sebagai pemilih, Anggara menyatakan rasa kecewanya dengan para wakil rakyat di DPR yang pernah berjanji untuk menyejahterakan rakyat, namun ketika menerima mandat, mereka kemudian tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. “Kami ragu apakah undang-undang yang akan dibuat atau dirumuskan akan mencapai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan ini berhubungan dengan kerugian konstitusional para Pemohon,” tegasnya.
Lanjut Anggara, sebagai pembayar pajak, Pemohon merasa sangat risau dengan pendapatan para anggota DPR yang begitu tinggi, “tapi tidak berkenan hadir secara fisik di sidang-sidang yang begitu penting,” tandasnya.
Sebaliknya, baik Pemerintah dan DPR, justru menganggap bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam uji formil UU MA ini. Mereka beranggapan bahwa para Pemohon tidak dalam posisi atau situasi yang terganggu, terhalangi, ataupun terkurangi hak dan kewenangannya dalam menjalankan profesi masing-masing karena UU a quo bertujuan mengatur MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Memaknai “kehadiran”
Mengenai persoalan terpenuhinya kuorum persidangan, Pemohon juga meminta adanya pemaknaan secara legal terhadap makna kata “dihadiri” dalam Pasal 206 Tata Tertib DPR RI, apakah kehadiran anggota DPR ketika menetapkan suatu undang-undang diartikan kehadiran formil atau fisik. “Kami berhadap melalui permohonan ini kita semua dapat membangun etika dan moral politik,” pinta Taufik.
Jika hanya mendasarkan formalitas tanda tangan, lanjut Taufik, banyak anggota DPR yang titip tanda tangan atau melakukan tanda tangan sendiri di awal kemudian tidak hadir lagi hingga akhir persidangan. Padahal ketika dipilih, rakyat berharap DPR dapat bekerja secara maksimal dalam mengambil keputusan. “Itu yang kami ingin bahas di sini sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim, apa maksud dari kehadiran itu. Apakah (jika) suatu peraturan perundang-undangan ditetapkan hanya (dengan) dihadiri 90 anggota DPR, (maka) itu layak mengikat bagi warga negara?” tanya Taufik.
Kegusaran Taufik ini diperkuat oleh keterangan Saksi yang dihadirkan oleh Pemohon, antara lain, Febridiansyah dari Indonesia Corruption Watch dan Anugrah Perkasa wartawan Bisnis Indonesia yang saat itu meliput sidang pengesahan RUU MA. Dari balkon pengunjung, mereka menyaksikan bahwa ruangan itu sangat kosong dan pesertanya sangat sedikit.
Menindaklanjuti persoalan ini, Hakim Konstitusi Harjono bertanya kepada Kuasa Hukum DPR Nursyahbani Katjasungkana bahwa ketika proses pengesahan RUU MA yang bertandatangan sebanyak 283 orang tapi yang hadir hanya 90 sampai 96 orang, maka apakah dimungkinkan jumlah kehadiran yang lebih kecil lagi juga akan tetap membuat suatu RUU sah menjadi UU. “Bagaimana kalau itu terjadi? Apa tidak ada pembatasnya (syarat minimal kehadiran red.) sama sekali? Praktik seperti itu apa dimungkinkan dengan tata cara yang ada?” tanya Hakim pilihan DPR ini.
Menjawab pertanyaan tersebut, Nursyahbani mengatakan bahwa dalam Tata Tertib DPR tidak ada batasan minimum berapa yang harus hadir secara fisik. Secara hipotetis, jelas Nursyahbani, meskipun hanya satu yang hadir dan 283 lainnya tidak hadir namun mengisi daftar hadir, maka undang-undang itu bisa saja disahkan. “Itu hipotetis, itu jarang terjadi. Paling-paling yang hadir sepertiga dari yang tanda tangan. Ini memang persoalan besar bagi tata cara pengambilan keputusan di DPR yang sampai sekarang masih diberlakukan,” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Meskipun dihadiri kurang dari separuh anggota DPR, namun pengesahan RUU MA tersebut ditandatangani oleh semua fraksi yang ada, termasuk PDIP yang menyatakan menolak pengesahan tersebut. Hal itu bisa dibuktikan melalui berita acara persetujuan tingkat satu yang ditandatangani oleh semua wakil fraksi dan pemerintah. Pada saat penandatanganan itu, aku Nursyahbani, tidak ada satu fraksipun yang tidak menandatanganinya. “Pada pendapat akhir fraksi-fraksi sering terjadi catatan-catatan tapi tidak ada yang secara ekspisit menolak pengesahan itu, kecuali fraksi PDIP,” jelasnya.
Mengenai hitungan kuorum untuk mengambil keputusan, berdasarkan Pasal 206 Tata Tertib DPR, lanjut Nursyahbani, hal itu ditentukan dalam dua hal, pertama, jika dihadiri lebih dari separuh anggota DPR, dan kedua, dihadiri oleh separuh fraksi yang ada di DPR. Namun, dalam dua bulan terakhir ini DPR hanya menyepakati kuorum fraksi saja, karena jka memakai kuorum anggota DPR, maka pengambilan keputusan tidak akan pernah bisa disepakati. “Yang menjadi masalah, yang disebut kuorum anggota tidak dihitung kehadiran fisik, tapi kehadiran tanda tangan. Ini permasalahan besar yang sering disorot masyarakat. Semoga ini bisa diubah sehingga bisa mengubah citra DPR,” tandas Nursyahbani.
Terhadap definisi “hadir”, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan meminta Pemohon, dalam sidang berikutnya, untuk turut juga membuktikan apa yang dimaksud dengan “hadir” tersebut. “Daftar hadir DPR pasti kuorum, tapi realitasnya yang menjadi soal. Maka penting definisi “hadir” sebagai tolok ukur,” katanya. (Wiwik Budi Wasito)