Menguji Kembali Ambang Batas Perolehan Kursi DPR
Selasa, 08 September 2009
| 08:13 WIB
Dari kiri ke kanan, M. Akil Mochtar, Abdul Mukthie Fadjar, dan Achmad Sodiki, sedang memperhatikan keterangan yang disampaikan Pemohon uji materi Pasal 205 ayat (1) UU Pemilu, Senin (7/9), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Yogi Dj)
Perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2009 memang telah dinyatakan usai. Namun, pengujian Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) masih berlanjut. Pada Senin (7/9), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan uji materi Pasal 205 ayat (1) UU Pemilu dalam perkara Nomor 107/PUU-VII/2009.
Perkara ini diajukan oleh Andi Jamaro Dulung, Hamka Haq, dan Edward Tanari dengan Sholeh Amin dan Wasis Susetio sebagai Kuasa Hukumnya. Panel Hakim yang memeriksa perkara ini diketuai Abdul Mukthie Fadjar dengan didampingi Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar.
Dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Pemohon mendalilkan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 205 Ayat (1) mengabaikan suara sah dari rakyat pemilih. “Fokus materi pengujian kami adalah bilangan pembagi pemilih (BPP). Kami berharap BPP dalam Pasal 205 Ayat (1) dipisahkan dengan parliamentary threshold (PT) 2,5 persen,” tutur Pemohon.
Pemohon beralasan bahwa memilih partai politik (parpol) yang kemudian tidak mencapai PT adalah keyakinan politik para pemilih yang telah memberikan suara kepada parpol-parpol tesebut. Menurut Pemohon, tidak seharusnya sebuah keyakinan tersebut didiskriminasi dengan tidak mengikutkan suara-suara tersebut dalam penentuan perolehan kursi berupa penetapan BPP. “Pasal yang mengandung ketentuan diskriminatif sudah selayaknya dinyatakan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat,” minta Pemohon.
Lebih lanjut, penyederhanaan jumlah parpol dapat dilakukan dengan menolak parpol yang perolehan suaranya di bawah 2,5 persen secara nasional untuk ikut dalam pembagian kursi DPR RI. Namun, suara rakyat yang memilihnya secara sah harus tetap diikutkan (dimasukkan) dalam akumulasi angka BPP DPR agar tidak terjadi perlakuan diskriminatif terhadap rakyat dengan hilangnya suara tersebut.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim meminta para Pemohon melengkapi bukti-bukti, kesimpulan, dan argumentasi. “Nanti Mahkamah akan mempertimbangkan dan menilainya. Kami beri waktu seminggu, sehingga sebelum lebaran sudah bisa disampaikan,” tutur Mukthie sebelum mengetok palu mengakhiri persidangan. (Yazid/MH)