Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua), Senin (7/90), di ruang sidang pleno MK. Sidang perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Ramsees Ohee dan Yonas Alfons Nusi.
Melalui kuasa hukumnya, Amiryun Aziz, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU Otsus Papua bertentangan dengan UUD 1945. Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan adanya frasa “peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (2) UU Otsus Papua tersebut sangat tidak jelas, bias, multitafsir, dan rawan konflik. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan”DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kenyataannya, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur pengangkatan anggota DPRP.
Sedangkan terhadap Pasal 6 ayat (4), menurut Pemohon terkesan ada dua lembaga legislatif di Provinsi Papua, yakni DPRP dan DPRD. “Ketentuan tersebut jelas mengandung contradictio in terminis, karena sesungguhnya DPRP adalah DPRD Provinsi Papua. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 huruf f UU Nomor 21 Tahun 2001,” jelas Amiryun.
Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU Otsus Papua tidak sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang dan landasan filosofis serta sosiologis dibentuknya Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hal ini, lanjut Amiryun, bertentangan dengan hak masyarakat adat Papua untuk turut berpartisipasi dalam upaya pembelaan negara. Tak hanya itu, Amiryun juga mengungkapkan bahwa masyarakat adat Papua kehilangan hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif serta hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus dalam memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. “Hal ini bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat(4),” jelas Amiryun.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, serta Hakim Konstitusi Harjono dan Maruarar Siahaan sebagai anggota, memberikan nasehat dan saran agar Pemohon memperbaiki permohonannya. Menurut Akil, seharusnya Pemohon tidak perlu meminta agar Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) dinyatakan inkonstitusional. “Sebenarnya Pemohon berkeberatan karena ternyata 11 kursi DPRP yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat Papua, berubah menjadi milik parpol. Maka seharusnya legal standing-nya diubah. Jangan meminta pembatalan Pasal 6 ayat (2) dan (4) tersebut karena ini masalah aplikasi UU Nomor 21 Tahun 2001 di lapangan,” jelas Akil.
Sementara itu, Harjono menjelaskan bahwa sebenarnya keberadaan Pasal 6 yang membuka jalan bagi Pemohon agar bisa duduk di DPRP Provinsi Papua. Maka, lanjut Harjono, jika Pasal 6 dianggap inkonstitusional, maka Pemohon tidak akan mendapatkan apa-apa. “Yang harus dipermasalahkan adalah kedudukan parpol yang seharusnya milik Pemohon, bukan pada Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2001,” jelas Harjono.
Majelis Hakim Konstitusi meminta agar Pemohon memperbaiki legal standing dan menjelaskan mengenai kerugian konstitusional Pemohon. “Jika ada hak Pemohon yang diambil Parpol dalam DPRP, maka harus dibuktikan dengan surat dari KPU,” tambah Akil.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A./MH)