UU BHP Hanya Fasilitasi Masyarakat Kaya
Kamis, 03 September 2009
| 17:05 WIB
Ketua MK Mahfud MD sedang memperhatikan keterangan yang disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo (tampak di layar) dalam sidang uji UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan, Kamis (3/9), di ruang sidang pleno MK. (Humas MK/Andhini SF)
UU BHP Hanya Fasilitasi Masyarakat Kaya
UU BHP hanya dibuat untuk memfasilitasi masyarakat golongan kaya dan sedikit golongan miskin. Demikian pernyataan yang dikemukakan oleh Darmaningtyas ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemohon dalam sidang pleno lanjutan Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), Kamis (3/9), di ruang sidang pleno MK. Sidang yang sempat diskors selama setengah jam dan dilanjutkan pada pukul 14.00 WIB ini mengagendakan Mendengarkan Keterangan Tambahan Pemerintah dan DPR, Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Darmaningtyas mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam empat golongan, yakni golongan kaya yang pintar, golongan kaya yang bodoh, golongan miskin yang pintar dan golongan miskin yang bodoh. Dengan adanya UU BHP, lanjut Darmaningtyas, golongan kaya baik yang pintar maupun bodoh tetap bisa menikmati pendidikan berkualitas karena mereka memiliki dana. Akan tetapi, berbeda halnya dengan golongan misikin, hanya bisa terakomodir dengan adanya beasiswa seperti yang tercantum dalam Pasal 46 ayat (1). Pasal 46 ayat (1) UU BHP menyatakan bahwa “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah peserta didik yang baru”.
“Akan tetapi, mereka yang termasuk golongan miskin yang pintar inipun harus terseleksi karena UU BHP hanya menerima 20 persen saja. Padahal angka masyarakat miskin kita terbilang cukup tinggi,” jelas Darmaningtyas.
Mengenai otonomi, Darmaningtyas menyatakan bahwa otonomi yang diusung UU BHP hanyalah otonomi tipuan. “Masa bentuknya yayasan, tapi tata kelolanya BHP. Itu nalar atau tidak?” kritis Darmaningtyas.
Menurut Darmaningtyas, jika ingin otonomi berikan saja kepada masyarakat agar masyarakat sendiri yang mengaturnya. Darmaningtyas juga mengungkapkan agar jangan sampai UU BHP mereduksi pendidikan menjadi hanya terbatas pada tata kelola saja. “Yang terpenting dalam pendidikan adalah proses berpengetahuannya, bukan tata kelolanya,” jelas Darmaningtyas.
Sementara itu, saksi yang dihadirkan oleh Pemohon perkara Nomor 14/PUU-VII/2009, Prof. Soedijarto, menjelaskan bahwa UU BHP bertolak belakang dengan Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945 dan menganggap UU BHP merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945. “Jangan ada pengesahan penyimpangan terhadap UUD 1945. Kalau Pemerintah belum punya uang, bilang saja. Rakyat bisa memaklumi dan menunggu. Tapi jangan sekali-kali mensahkan UU yang menyatakan Pemerintah tidak usah susah payah untuk membiayai pendidikan seluruh rakyatnya,” jelas Soedijarto.
Sementara itu, Nurdin Rivai selaku Saksi Pemerintah mengungkapkan UU BHP dapat mengendalikan proses penyerapan mahasiswa secara besar-besaran oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akibat perubahan PTN menjadi BHMN. Hal ini, lanjut Nurdin, berdampak pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). “Banyak PTS yang kolaps karena BHMN ini. Pemerintah menjanjikan dengan adanya BHP justru dapat mengendalikan implikasi dari BHMN ini,” jelas Nurdin yang juga menjabat sebagai ketua sebuah yayasan pendidikan swasta.
Sidang berikutnya mengagendakan pembacaan putusan. (Lulu A.)