Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), Kamis (3/9), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK dengan agenda mendengarkan keterangan tambahan Pemerintah dan DPR, Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Pengujian UU Sisdiknas dan UU BHP diajukan oleh tiga Pemohon dengan nomor perkara yang berbeda. Perkara Nomor 11/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aep Saepudin, Kristiono Iman Santoso, Sandi Sahrinnurrahman, Mega Yulianan Lukita BT Luki, Dai, A. Shalihin Mudjiono, Eruswandi, Utomo Dananjaya, RR. Chitra Retna S, dan Yanti Sriyulianti dengan Kuasa Hukum Gatot Goei, dkk. Perkara Nomor 14/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aminuddin Ma’ruf, Nouval Azizi, dan Bagus Ananda. Perkara Nomor 21/PUU-VII/2009 dimohonkan oleh sembilan Pemohon yang terdiri dari elemen mahasiswa, orangtua siswa, dan beberapa badan hukum yang bergerak dalam bidang pendidikan dengan kuasa hukum dari Tim Advokasi Koalisi Pendidikan.
Para Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan UU BHP karena dinilai telah melanggar hak setiap warga negara untuk memperoleh akses pendidikan seluas-luasnya, sekaligus UU tersebut telah mengkomersialisasi pendidikan.
Menanggapi permohonan tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo memaparkan bahwa ruh dari Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah keinginan untuk memberikan otonomi bagi satuan pendidikan. Satuan pendidikan, lanjut Bambang, diberikan kebebasan untuk mengolah, memproses, dan mengembangkan subjek pendidikan. BHP dimaksudkan untuk menghilangkan birokrasi dan diskriminasi antara sekolah atau perguruan tinggi negeri dengan swasta yang dapat mengungkung kebebasan satuan pendidikan mengembangkan subjek pendidikan. “BHP hanya ingin memberikan status dan kebebasan yang memadai pada satuan pendidikan,” jelas Bambang.
UU BHP, menurut Bambang, disusun dengan semangat reformasi yang dilandasi untuk menegakkan demokrasi pada satuan pendidikan. Akan tetapi, Bambang menjelaskan bahwa BHP hanya ditujukan bagi seluruh perguruan tinggi serta sekolah yang sudah terakreditasi A dan lolos uji standarisasi nasional.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi, berkaitan dengan UU Sisdiknas, menyampaikan bahwa fokus DPR ketika menyusun UU Sisdiknas ialah mengenai masalah dualisme kelembagaan dalam pendidikan. “Undang-undang yang lama belum mampu mengatasi dualisme dalam pendidikan antara negeri dan swasta, padahal seharusnya tidak boleh ada diskriminasi dan perlu perlakuan sama antara swasta dan negeri. Jadi, UU Sisdiknas hanya berupaya untuk mengunifikasi pendidikan,” jelas Heri.
Terkait UU BHP, Heri juga mengakui bahwa UU tersebut merupakan produk politik yang di dalamnya terkandung kompromi politik antara DPR dan Pemerintah. “Maka menjadi sebuah kewajaran jika sebagai kompromi politik, UU BHP memiliki kekurangan,” kata Heri.
Akan tetapi, menurut Heri, UU BHP dibentuk untuk menjadi payung hukum bagi lembaga swasta seperti yayasan untuk tetap berjalan. Selain itu, UU BHP berfungsi untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat, bukan untuk dijadikan bisnis ataupun dikomersialisasikan.
Biaya Pendidikan Meroket
Pemohon Perkara 21/PUU-VII/2009 yang diwakili kuasa hukumnya, Taufik Basari menghadirkan saksi Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (UI) Dimas Ari Nurdianto. Dalam keterangannya, Dimas memaparkan mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung seorang mahasiswa reguler untuk meraih gelar S1 di UI. “Bagi lulusan SMA atau MA jurusan IPA, jika akan mengambil gelar S1 di FMIPA, Fakultas Teknik, atau Fakultas Kedokteran, bisa menghabiskan biaya sebesar 85 juta rupiah, sedangkan untuk jurusan IPS menghabiskan biaya sebesar 65 juta,” papar Dimas.
Menurut Dimas, tingginya biaya pendidikan tersebut merupakan implikasi dari UU BHP. Sejak UI menjadi BHMN melalui PP Nomor 152 Tahun 2000, sumber pemasukan UI hanya terfokus pada dua sumber, yakni masyarakat (mahasiswa, red.) dan Pemerintah dengan perbandingan yang tidak seimbang. “Pemasukan UI dari masyarakat pada tahun 2009 mencapai 45 persen, sementara dari Pemerintah hanya 24 persen. Hal ini sangat membebani mahasiswa. Bahkan tahun ini, tercatat 700 mahasiswa mengundurkan diri akibat hal ini,” terang Dimas. (Lulu A./MH)