Tiga Parpol Menekan KPU
Kamis, 03 September 2009
| 10:17 WIB
Gedung MK
Komisi Pemilihan Umum ditekan Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. KPU ditekan agar mematuhi Mahkamah Agung dalam membagi kursi DPR tahap kedua dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (Kompas, 29/8/2009).
Keberhasilan menekan KPU akan memicu penjarahan kursi DPR dari 71 daerah pemilihan (dapil). Penjarahan terjadi karena pembagian kursi menurut the largest remainder method diganti dengan metode deret hitung menurut putusan MA.
Kuota di dapil
Pemilu 2009 memperebutkan 560 kursi DPR di 77 dapil; 19 provinsi dirancang berdapil tunggal dan 58 dapil disebar di 14 provinsi berdapil majemuk. Kursi dibagi menurut formula pemilu, yaitu rumus mengonversi suara menjadi kursi, yang diatur dalam Pasal 202-214 UU Pemilu 2008 dan Peraturan KPU No 15/2009. Pemilu sistem proporsional mengonversi lebih banyak suara menjadi kursi karena parpol berebut banyak kursi di daerah pemilihan. Formula pemilu diterapkan di dapil.
Dua kuota suara menjadi kunci mendapat kursi: kuota setara dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) dan kuota setara dengan suara tertinggi di bawah BPP (the largest remainder). BPP di dapil ditentukan menurut Hare formula (Pasal 203 dan 205 Ayat 5 UU Pemilu), yaitu jumlah suara sembilan parpol dibagi jumlah kursi. Kunci formula pemilu ini diterapkan pada dua tahap pembagian kursi di provinsi berdapil tunggal (Pasal 209) dan tiga tahap di provinsi berdapil majemuk (Pasal 205-208). Suara setara BPP atau kelipatannya dijamin menjadi kursi pada tahap pertama.
Kursi tersisa akan dibagi partai yang memiliki ”suara sekurang-kurangnya 50 persen dari BPP DPR” (Pasal 205 Ayat 4). Inilah cara mengonversi ”suara tertinggi di bawah BPP” yang belum menjadi kursi, baik berupa sisa BPP maupun suara parpol non-BPP (Pasal 23 Peraturan KPU). Sisa BPP dan suara non-BPP diadu, yang terbanyak (the largest remainder) dikonversi sebagai kursi. Kursi habis di 19 provinsi berdapil tunggal, tanpa sisa BPP menunggangi suara yang sudah menjadi kursi.
Ternyata putusan MA No 15P/HUM/2009 membatalkan pemahaman itu (KPU tak hadir menyampaikan pembelaan di persidangan). MA memahami frasa ”suara sekurang-kurangnya setengah BPP DPR” menurut deret hitung agar mencakup (double counting) dan melampaui BPP sehingga kursi dapat diberikan lebih dulu kepada parpol peraih BPP.
Putusan MA memicu ”penjarahan” kursi oleh sisa BPP, baik lebih maupun kurang dari setengah BPP, di 71 dapil di 28 provinsi lainnya. Di Papua misalnya, empat parpol peraih BPP mendapat delapan kursi dan dua sisanya untuk parpol lain. Atau tiga parpol peraih BPP mendapat enam kursi di dapil Sumut-I dan empat sisanya untuk parpol lain. Putusan MA tak berdampak di Provinsi Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau karena tidak ada parpol peraih BPP.
Maka, formula pemilu diuji MK. Putusan MK No 110-113/PUU-VII/2009 menegaskan suara setara BPP sudah dikonversi menjadi kursi sehingga tidak dihitung kembali melalui frasa ”sekurang-kurangnya setengah BPP” pada pembagian kursi tahap kedua. MK mengutip Pasal 23 Peraturan KPU untuk mendukung konstitusionalitas Pasal 205 Ayat 4 UU Pemilu.
Kuota baru
Jika kursi tersisa di 14 provinsi berdapil majemuk, konversi tahap ketiga menjadi insentif bagi parpol. Ditentukanlah BPP baru, yaitu jumlah sisa suara sembilan parpol di provinsi dibagi jumlah sisa kursi (Pasal 205 Ayat 5-6). Kursi diberikan kepada parpol peraih kuota baru untuk ”dikembalikan” ke dapil asal (Pasal 205 Ayat 7 jo Pasal 208).
Namun, SK KPU No 259/2009 dan Pasal 25 Peraturan KPU mengabaikan BPP baru. KPU mengalokasikan kursi kepada parpol berdasar perolehan suara terbanyak sedapil dan antardapil. Rumus ini tidak operasional dan menghalangi caleg suara terbanyak memperoleh kursi dari parpolnya. Penetapan KPU dikoreksi Putusan MK No 74-80-94-59-67/PHPU.C-7/2009 (11/6/2009). Putusan MA No 18P/HUM/2009 (18/6/2009) merujuk putusan MK dan membatalkan Pasal 25.
Apabila BPP baru tak terpenuhi, kursi habis diberikan kepada parpol sesuai peringkat sisa suara terbanyak (the largest remainder) di provinsi. Kursi dialokasikan ke dapil asal (Pasal 206 jo Pasal 208). Jika kursi tersisa, tetapi suara parpol habis terkonversi, kursi diberikan berdasar akumulasi suara terbanyak di provinsi (Pasal 207).
Semua kursi seharusnya diduduki caleg menurut sistem proporsional terbuka-bersyarat (Pasal 52, 55, dan 214), tetapi MK membatalkannya (2008). Menurut MK, hanya caleg dengan suara terbanyak yang dapat mendudukinya secara konstitusional.
Indonesia memamerkan ironi demokrasi prosedural. Suara rakyat sudah dihitung, tetapi formula pemilu sebagai jantung pemilu dipelintir dan tak berfungsi normal. Inilah tanda sistem pemilu yang buruk. Lebih celaka jika tidak ada perancang sistem pemilu atau ahli behavioral politics yang dapat mengoreksi pemahaman politisi dan hakim tentang formula dan sistem pemilu.
Mohammad Fajrul Falaakh. Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakartasumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/03/02563676/tiga.parpol.menekan.kpu