Tenggat Waktu Pengajuan Gugatan Hasil Pemilu Dianggap Tidak Rasional
Selasa, 25 Agustus 2009
| 13:46 WIB
Kuasa Hukum para Pemohon, Djulia Sastrawijaya (kanan), memperkenalkan para Pemohon yang hadir kepada Majelis Hakim dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara uji UU Pemilu dan UU MA.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Selasa (25/8) pagi di Ruang Sidang Lantai 2 Gedung MK. Hadir pada kesempatan itu, Majelis Hakim Konstitusi yakni M. Arsyad Sanusi, Abdul Mukthie Fadjar dan Achmad Sodiki.
Para Pemohon adalah Deden Rukman Rumaji, Eni Rif’ati dan Iyong Yatlan Hidayat yang berasal dari Partai Amanat Nasional. Sedangkan kuasa hukum Pemohon adalah Refli Harun, S.H., M.H., LL.M., Djulia Sastrawijaya, S.H. Seperti diungkapkan kuasa hukum Pemohon, pada intinya Pemohon mendalilkan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 74 ayat (3) dimana pembatasan pengajuan permohonan selama 3 x 24 jam melanggar frase jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
“Pembatasan waktu 3 x 24 jam untuk pemilu serumit Indonesia adalah sangat tidak rasional. Bahkan pemilu di Indonesia sering disebut sebagai the most complicated election in the world karena melibatkan jumlah partai dan pemilih yang banyak,” jelas kuasa hukum Refli Harun.
Alasan-alasan lainnya dari Pemohon, ungkap Refli, menetapkan jangka waktu 3 x 24 jam berpotensi menghilangkan hak warga negara termasuk para Pemohon. Selain itu, pembatasan waktu 3 x 24 jam membuat parpol dan calon anggota DPRD berbondong-bondong mengajukan perselisihan hasil pemilu dalam jangka waktu yang hampir bersamaan. “Akibatnya, saat Pemilu 2009 Mahkamah menerima 643 kasus perselisihan hasil pemilu yang dibundel dalam 42 perkara parpol dan 27 perkara DPD,” tambah Refli.
Dalam petitum, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu Pemohon menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU No.24 Tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum. Ditambahkan Pemohon, setidak-tidaknya Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU Pemilu harus dibaca bahwa hal tersebut tidak menghalangi Pemohon perselisihan hasil pemilu (PHPU) untuk mengajukan permohonan setelah selesainya tenggak waktu 3 x 24 jam, sepanjang permohonan yang diajukan benar-benar signifikan mempengaruhi hasil pemilu (conditionally constitusional).
Menanggapi alasan-alasan Pemohon, Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi menyarankan kepada Pemohon agar menelaah dan mempelajari kembali Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dan Pasal 259 UU Pemilu. Adapun Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menyatakan bahwa Pasal 74 ayat (3) UU MK tidak berdiri sendiri, namun tetap terkait Pasal 74 ayat (1).
“Kemudian yang harus diingat lagi, PHPU tidak mungkin berlangsung sepanjang masa. Bagaimanapun, pemilu hanyalah sebagai sub-sistem dari kehidupan bernegara,” tandas Mukthie Fadjar. (Nano Tresna A.)