Jakarta, MKOnline - Meskipun pelaksanaan Pemilu 2009 sudah selesai, Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD masih saja menarik perhatian warga negara, terutama para calon legislatif untuk diujikan. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengadili pengujian terhadap Pasal 205 Ayat (1) UU tersebut yang dimohonkan Andi Jamaro Dulung, Hamka Haq, dan Edward Tanari, Kamis (20/8/09) pukul 10.30 di Ruang Sidang Panel Gedung MK, Jakarta.
Pasal tersebut berbunyi “Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil perhitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan”. Norma UUD 1945 sebagai alat uji yang dimohonkan adalah Pasal 1 Ayat (1) berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan Pasal 28I Ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Dalam persidangan, Pemohon menjelaskan bahwa alasan utama permohonannya adalah Pasal 205 Ayat (1) yang menjadi dasar penetapan BPP bagi kursi anggota DPR RI telah mengabaikan suara sah dari rakyat pemilih yang menyalurkan suaranya kepada partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5%.
Alasan lain, membuang atau menyia-nyiakan suara rakyat yang sah karena tidak diikutkan dalam penentuan BPP menurut Pasal a quo adalah melanggar konstitusi. “Menurut kami, sekitar 15 juta penduduk atau 15,6% dari total suara sah pemilih tidak punya nilai. Ini diskriminatif. Padahal, pemilu menghargai setiap suara pemilih; one man, one vote, one value,” urai Pemohon.
Majelis hakim yang diketuai Mukthie Fadjar dengan didampingi Ahmad Sodiki dan Maria Faria Indrati, menanyakan pokok permohonan. “Permohonan perlu diperbaiki karena posita dan petitum inkonsisten”, ujar Mukthie Fadjar. “Legal Standing itu penting. Kerugian konstitusional anda di mana, harus bisa dijelaskan”, tutur Sodiki menasehati Pemohon perkara ini.
Majelis hakim memberi waktu 14 hari kerja pada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. (Yazid/MH)