Diklat Perundang-undangan Dephukham Bersama Hakim Maria Farida
Kamis, 20 Agustus 2009
| 16:47 WIB
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan ceramah kepada peserta diklat Depkumham.
Jakarta, MKOnline - Perundang-undangan (legislation, wetgeving, Gesetzgebung) merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. Kemudian, perundang-undangan bisa juga merupakan segala peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga negara/pemerintah, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Demikianlah yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida saat menerima 28 peserta diklat perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (20/8) di gedung MK. Kunjungan ini dilaksanakan guna lebih memahami tentang seluk beluk perundang-undangan yang merupakan keahlian dan kepakaran dari Hakim Konstitusi Maria Farida.
Dalam pemaparannya, satu-satunya hakim perempuan di MK tersebut menerangkan kepada perserta diklat bahwa menurut Pasal 7 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah., Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Menanggapi pertanyaan peserta diklat yang menanyakan apakah dalam penyusunan perundang-undangan haruslah ada harmonisasi, naskah akademik, penelitian dan pengkajian, Maria menjelaskan bahwa sebelum dikeluarkannya undang-undang, maka perlu adanya alasan dan urgensi sebagai latar belakang. “Jadi lembaga legislatif perlu melakukan penelitian dan pengkajian. Dari penelitian dan pengkajian akan ditemukan bahwa apakah peraturan itu diperlukan untuk dibentuk menjadi undang-udang atau tidak,” jawab Maria.
Mengenai permasalahan apakah diperlukan naskah akademik dalam sebuah pembahasan undang-undang, Maria menceritakan pengalamannya. Mulai tahun 1982 sampai sekarang sewaktu dirinya diminta DPR untuk ikut membentuk undang-undang tidak pernah memakai naskah akademik.
“Kalau rancangan undang-undang (RUU) sudah ada mengapa memerlukan naskah akademik. Memang naskah akademik dibutuhkan, tapi kita harus melihat latar belakang urgensinya terlebih dahulu. Jadi tidak selalu harus menggunakan atau membuat naskah akademik,” lanjutnya.
Maria mengibaratkan bahwa apabila telah ada RUU dan kemudian dibuatkan naskah akademik, maka akan aneh. “Seperti halnya membuat makalah ataupun paper. Apabila saya telah selesai membuatnya dan kemudian saya menyuruh asisten saya membuatkan atau memberikan foote note-nya kan menjadi tidak benar hal tersebut,” ungkapnya. (RNB Aji/MH)